AMAR PENAHANAN DALAM PUTUSAN PEMIDANAAN

Pendahuluan

Jika beberapa waktu yang lalu, dunia hukum gaduh dengan tidak adanya amar penahanan dalam putusan pemidanaan, maka saat ini dunia hukum juga kembali gaduh dengan adanya amar penahanan dalam putusan pemidanaan. Tentu masih ingat betapa gaduhnya ketika dalam amar putusan pemidanaan Susno Duadji tidak tercantum amar penahanan, maka saat ini ketika ada amar penahanan dalam putusan pemidanaan Ahok, kegaduhan yang terjadi juga tidak kalah ramai. Bukan hal yang layak digaduhkan sesungguhnya apabila mau sedikit bersabar menyisihkan waktu untuk membaca dengan cermat pasal demi pasal dalam hukum acara pidana yang berlaku di negara ini. 

Penahanan dan Pemidanaan

Penahanan dan Pemidanaan, serupa tapi sesungguhnya tidak sama. Apa sih penahanan itu? Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu dan jangka waktu tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya. Di tempat tertentu itulah penahanan dilakukan yang terbagi menjadi tiga, yaitu: rumah tahanan negara, rumah atau juga kota tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka atau terdakwa (Pasal 22 KUHAP).

Untuk apa dilakukan penahanan yang merupakan pembatasan kemerdekaan seseorang untuk sementara? Penahanan bukanlah tujuan dari proses peradilan pidana, penahanan hanya sebagai sarana untuk mencegah tersangka dan/atau terdakwa melarikan diri, mengulangi perbuatannya atau menghilangkan/merusak barang-barang bukti, lebih tepatnya penahanan dimaksudkan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan persidangan.

Penjabat yang diberi kewenangan penahanan tersangka atau terdakwa adalah penyidik pada tingkat penyidikan, penuntut umum pada tingkat penuntutan dan hakim pada tingkat persidangan. Kewenangan penahanan ini bukan tanpa batas, ada batasan waktu tertentu untuk dapat melakukan penahanan pada setiap tingkatan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 29 KUHAP.

Selain batasan waktu, kewenangan penahanan ini juga dibatasi dengan syarat obyektif dari penahanan, yaitu hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana yang diancam dengan penjara lima tahun atau lebih dan tindak pidana tertentu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP. Selain syarat obyektif tersebut, juga dikenal adanya syarat subyektif yaitu tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana (Pasal 21 ayat (1) KUHAP).

Karena keduanya bersifat kumulatif, maka tanpa terpenuhi syarat obyektif, penahanan tidak dapat dilakukan. Sebaliknya meskipun syarat obyektif terpenuhi, tidak serta merta pasti ditahan, akan tetapi terlebih dahulu dilihat syarat subyektif. Terkait dengan kewenangan, maka penilaian terpenuhinya syarat subyektif dilakukan oleh pejabat sesuai tingkatan proses hukum yang dijalani. Singkatnya tidak semua tersangka atau terdakwa ditahan selama menjalani proses hukum perkara pidana.

Selanjutnya apa yang dimaksud dengan pemidanaan? Pemidanaan berupa hukuman adalah penerapan sanksi pidana berupa penderaan yang dijatuhkan oleh pengadilan yang diatur oleh undang-undang sebagai konsekuensi atas perbuatan yang menurut proses peradilan dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah yang dilakukan terdakwa. Pemidanaan atau hukuman dalam perkara pidana terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok dapat berupa pidana mati, penjara, kurungan, dan denda. Sedangkan untuk pidana penjara dibagi menjadi dua yaitu pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara untuk waktu tertentu. Pidana penjara selama waktu tertentu itu sekurang-kurangnya satu hari dan selama-lamanya lima belas tahun, dan dalam hal tertentu bisa menjadi dua puluh tahun dan tidak boleh lebih dari dua puluh tahun.

Pemidanaan, yang salah satunya berupa pidana penjara selama waktu tertentu, hanya dapat dilaksanakan apabila putusan pengadilan sudah berkekuatan hukum tetap. Berbeda dengan penahanan yang harus dilaksanakan segera setelah adanya penetapan penahanan dari pejabat yang berwenang.

Dari perbedaan penahanan dan pemidanaan di atas, menjadi menarik ketika mengerucut pada jenis penahanan rumah tahanan negara dikaitkan dengan pemidanaan berupa pidana penjara selama waktu tertentu. Dalam pelaksanaannya ada kesamaan diantara keduanya, yaitu tersangka atau terdakwa yang menjalaninya keduanya sama-sama dikekang atau dibatasi kebebasannya dalam suatu tempat yaitu sel dalam rumah tahanan negara dan adanya jangka waktu tertentu. Meskipun penahanan pada hakekatnya bukan merupakan pemidanaan, ketentuan hukum acara mewajibkan untuk mengurangkan masa penahanan yang telah dijalani dari pidana yang dijatuhkan.

Amar Penahanan dalam Putusan yang berisi Pemidanaan

Penahanan, tepatnya amar penahanan, dalam putusan yang berisi pemidanaan apakah masih diperlukan, layak dikemukakan pada contoh putusan Susno Duadji maupun putusan Ahok.

Jika pada perkara Susno Duadji, tidak adanya amar penahanan dalam putusan dikaitkan dengan ancaman batalnya putusan (Pasal 197 ayat (1) dan (2) KUHP). Sedangkan pada perkara Ahok, pencantuman amar penahanan dalam putusan dikaitkan dengan landasan dan kepentingan dilakukannya penahanan (Pasal 193 ayat (2) huruf a). Pemahaman yang benar akan pasal-pasal tersebut menjadi penting untuk menilai dalam hal apa dan bagaimana kewajiban mencantumkan amar perintah penahanan dalam putusan itu harus ada.

Putusan dalam perkara pidana yang diambil oleh pengadilan (baik pengadilan negeri, pengadilan tinggi maupun mahkamah agung) sebelumnya tentu telah melalui pemeriksaan persidangan yang panjang terutama dengan titik sentral pada apa yang disebut sebagai ruang pembuktian berdasarkan alat-alat bukti yang diajukan penuntut umum, terdakwa dan penasehat hukumnya. Salah satu jenis putusan akhir dalam perkara pidana adalah yang berisi pernyataan telah terbukti secara sah menyakinkan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwaan, selanjutnya atas kesalahan ini kemudian dijatuhi pidana (selain tentu saja untuk jenis putusan bebas dan putusan lepas).

Dalam penjatuhan pidana terhadap terdakwa yang dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana tentu akan mengacu pada jenis-jenis pidana pokok, yang salah satunya berisi pidana penjara selama waktu tertentu (selain pidana mati, kurungan atau denda). Pidana penjara selama waktu tertentu, terkadang dapat juga tidak perlu dijalankan selama masa waktu percobaan dan syarat yang ditentukan. Hukuman percobaan, demikian biasanya orang menyebutnya, untuk yang ini tentu tidak ada relevansinya lagi perintah penahanan dalam amar putusan (bahkan jika selama proses persidangan tidak ditahan, maka harus dikeluarkan dari tahanan).

Karena penahanan merupakan kewenangan (sepanjang terpenuhi syarat obyektif dan syarat subyektif) dengan batasan waktu tertentu, maka tidak selamanya orang yang menjalani proses pidana dikenakan penahanan, bahkan apabila lamanya waktu penahanan telah terlampaui, maka demi hukum harus dikeluarkan dari penahanan.

Dalam perkara Susno Duadji, meskipun syarat obyektif dan subyektif terpenuhi, akan tetapi karena jangka waktu penahanan yang dimiliki telah habis, maka pejabat yang berwenang tidak lagi dapat dilakukan penahanan, termasuk mencantumkan amar penahanan dalam putusan. Apakah hal tersebut tidak menyebabkan putusan batal demi hukum (Pasal 197 ayat (2) KUHAP) karena tidak ada amar perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan (Pasal 197 ayat (1) huruf k). Ketika jangka waktu penahanan telah habis terlampaui dan tetap mencantumkan amar penahanan, maka penahanan yang dilakukan justru merupakan pelanggaran hak asasi manusia karena melakukan perampasan kemerdekaan melebihi jangka waktu yang diberikan. Terhadap hal tersebut, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor: 69/PUU-X/2012 tanggal 22 November 2012 memberikan tafsir tidak dipenuhinya Pasal 197 ayat (1) huruf k tidak mengakibatkan putusan batal demi hukum.

Dalam perkara Ahok, perintah penahanan yang tercantum dalam amar, meski sejalan dengan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k tentu kemudian memunculkan pertanyaan apa dasar hukum dan relevansinya. Bukankah penahanan oleh hakim dimaksudkan untuk kepentingan pemeriksaan dan dengan dibacakannya putusan maka pemeriksaan telah selesai? Perintah supaya terdakwa ditahan (Pasal 197 ayat (1) huruf k) tentu karena selama proses terdakwa tidak ditahan (atau pernah ditahan akan tetapi ditangguhkan), sehingga dengan mengacu pada ketentuan Pasal 193 ayat (2) huruf a KUHAP dalam amar putusan dapat diperintahkan supaya terdakwa ditahan. Karena merupakan penahanan, maka syarat obyektif dan syarat subyektif penahanan (Pasal 21 ayat (1) dan (4) harus terpenuhi, selain itu tentu saja ketika jangka waktu penahanan masih ada dan belum terlampaui (Pasal 23 sampai Pasal 29 KUHAP).

Untuk apa penahanan itu, bukankah pemeriksaan persidangan telah selesai dengan dijatuhkannya putusan? Perintah penahanan terdakwa dalam putusan pengadilan yang dimaksud apabila pengadilan berpendapat perlu dilakukannya penahanan tersebut karena dikhawatirkan bahwa selama putusan belum memperoleh kekuatan hukum tetap, terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti ataupun mengulangi tindak pidana lagi, sama seperti syarat subyektif penahanan tentu setelah syarat obyektif penahanan terpenuhi (penjelasan Pasal 193 KUHAP). Pencantuman amar perintah penahanan sepintas seperti tidak ‘diperlukan’ karena pemeriksaan perkara telah selesai, akan tetapi perlu diingat dengan adanya ada jangka waktu untuk pikir-pikir hingga putusan berkekuatan hukum tetap dan dieksekusi atau dilakukan upaya hukum (sehingga kewenangan penahanan beralih ke pengadilan yang lebih tinggi), tentu saja dapat menimbulkan dugaan terdakwa dapat melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam syarat subyektif penahanan. Maka ketentuan Pasal 193 KUHAP memberikan kewenangan kepada hakim (baca pengadilan) untuk melakukan penahanan terhadap terdakwa yang sebelumnya tidak ditahan dalam bentuk perintah penahanan dalam amar putusan.

Dengan demikian, terdakwa yang sebelumnya tidak ditahan, dalam putusan dapat diperintahkan untuk ditahan dan yang sebelumnya ditahan juga dapat diperintahkan untuk tetap ditahan atau sebaliknya, justru dibebaskan dari tahanan, jika ada alasan untuk itu (alasan subyektif penahanan tidak lagi terpenuhi). (Pasal 193 ayat (2) huruf a dan b).

Pelaksanaan Putusan atau Pelaksanaan Penetapan Hakim

Pertanyaan selanjutnya terkait dengan ada tidaknya amar penahanan dalam putusan pemidanaan adalah apakah yang sesungguhnya dilaksanakan oleh oleh jaksa/penuntut umum? Sebagaimana fungsi dan hakekat penahanan, maka setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, penahanan sudah tidak diperlukan lagi, karena pemeriksaan perkara telah selesai. Saat itulah jaksa akan melaksanakan putusan pemidanaan yang diputuskan oleh hakim dengan melakukan eksekusi (Pasal 1 butir 6a KUHAP). Tidak adanya amar perintah penahanan tidak menghalanginya, karena yang dilaksanakan jaksa adalah amar pemidanaan penjara selama waktu tertentu, dan bukan lagi pelaksanaan penetapan hakim berupa perintah penahanan, karena untuk ini dilaksanakan oleh penuntut umum bukan jaksa. Konsekuensi pelaksanaan putusan adalah status terdakwa bukan lagi tahanan melainkan narapidana. Hal tersebut yang terjadi pada perkara Susno Duadji.

Bagaimana dengan perkara Ahok. Amar penahanan dalam putusan perkara Ahok, sebagaimana ketentuan Pasal 193 ayat (2) huruf a, meskipun terdapat dalam amar putusan, sesungguhnya adalah perintah hakim agar terdakwa ditahan (sama halnya dengan penetapan penahanan yang dibuat tersendiri). Dengan demikian, karena hal tersebut adalah perintah hakim, maka Penuntut Umum sekali lagi Penuntut Umum wajib hukumnya segera melaksanakannya dan tidak perlu menunggu putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap. Karena apabila putusan sudah berkekuatan hukum tetap maka yang dilaksanakan oleh jaksa (bukan penuntut umum) adalah amar putusan pemidanaan bukan amar penahanan. Konsekuensinya pelaksanaan penetapan hakim (amar penahanan) oleh penuntut umum adalah status terdakwa adalah bukan narapidana akan tetapi sebagai tahanan. Perbedaan status antara tahanan dan narapidana tentu akan membawa perbedaan perlakuan dan hak-hak selama menjalaninya.

Pertanyaan yang selanjutnya muncul adalah sampai kapan penahanan berdasarkan amar penahanan dalam putusan pemidanaan tersebut? Penjelasan Pasal 193 ayat (2) huruf a KUHAP menentukan penahanan selama putusan belum berkekuatan hukum tetap. Hal ini tentu akan dapat berbeda-beda, untuk perkara yang dimohonkan banding maka sampai dengan 7 hari sedangkan untuk permohonan kasasi maka sampai dengan 14 hari, atau apabila sebelum waktu tersebut telah dilakukan upaya hukum banding. Menurut penulis, penahanan selama waktu pikir-pikir (amar penahanan) tersebut tetap harus memperhatikan dan mengacu pada jangka waktu penahanan yang diberikan ketentuan Pasal 23 sampai dengan Pasal 29 KUHP.

Penutup

Dari uraian di atas, dengan melihat perkara Susno Duadji dan perkara Ahok, ternyata adanya atau tidak adanya amar penahanan dalam putusan telah diatur dalam KUHAP dan seharusnya tidak perlu menimbulkan polemik yng menghabiskan energi bangsa ini. Penahanan dan pemidanaan adalah dua hal yang berbeda, tidak saja pencantuman dalam amar putusan, siapa yang berwenang melaksanakannya sampai dengan sebutan dan hak-hak hukum yang melingkupinya. Dengan melihat makna dan hakekat penahanan dan pemidanaan, kiranya dapat membuka cara pandang dalam memahami dan melihat eksistensi perintah penahanan dalam amar putusan. Semoga.

 

Tegal, 10 Mei 2017

Author: sektiekaguntoro

nga enak dibaca dan nga perlu

Leave a comment