APA KABAR GAJI POKOK HAKIM?

Pendahuluan

Entah kenapa tiba-tiba saja terbersit pertanyaan di atas? Mungkin karena besok mau gajian kali ya? Iseng-iseng browsing di internet, eh nemu tulisan seorang hakim disini (https://www.hukumonline.com/…/mengantisipasi-gaji…/). Dengan gamblang memaparkan problematika soal gaji pokok hakim pasca Putusan Mahkamah Agung Nomor 23P/HUM/2028 tanggal 10 Desember 2018.

Putusan tersebut mengabulkan uji materiil yang diajukan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Yang Berada di Bawah Mahkamah Agung. Dengan adanya putusan tersebut, maka persoalan besaran gaji pokok Hakim yang disamakan dengan gaji pokok Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah bertentangan dengan Undang-Undang. Dimana dalam UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, hakim berstatus pejabat negara. Pun demikian dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 semakin menegaskan status seluruh Hakim dalam setiap tingkatan di lingkungan Mahkamah Agung adalah Pejabat Negara.

Gaji Pokok Hakim

Lalu apa masalahnya gaji pokok hakim yang katanya pejabat negara disamakan dengan PNS? Bisa panjang jawabannya, tapi singkatnya karena berdasarkan putusan tersebut, maka untuk dasar aturan yang mengatur mengenai gaji hakim harus diatur tersendiri, tidak menjadi satu dengan PNS. Itu dari sisi aturan, lalu bagaimana dengan besaran gaji pokoknya? Nah, makin pusing deh.

Baiklah, sebelum menjawab itu, ada baiknya kita melihat bagaimana sih sebenarnya soal aturan gaji pokok hakim itu? Jadi, kala status hakim masih PNS dengan PP Nomor 33 Tahun 1994 tentang Peraturan Gaji Hakim, maka gaji pokok Hakim yang tadinya sama dengan PNS, kemudian diatur tersendiri. Nah, pengaturan yang berbeda, tentu berimbas pula pada besaran gaji pokok. Jika mengacu pada lampiran peraturan tersebut, maka besaran gaji pokok hakim berkisar dua kali lipat gaji pokok PNS. Kenapa dibedakan? Katanya karena sebagai pejabat pelaksana kekuasaan kehakiman perlu diberikan jaminan hidup sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya agar mandiri. Demikian kira-kira sehingga gaji pokok hakim berbeda dengan gaji pokok PNS.

O iya, sebelum lebih lanjut, yang dimaksud Hakim disini adalah Hakim tingkat pertama dan tingkat banding ya, semua lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Lalu gaji pokok Hakim Agung? Jadi dari dulu, Hakim Agung termasuk yang mendapat jabatan pimpinan di Mahkamah Agung adalah termasuk dalam pejabat negara yang pengaturan mengenai gaji pokoknya diatur terpisah dan tersendiri bersama-sama dengan lembaga tinggi negara lainnya. Sehingga gaji pokok Hakim Agung berbeda dengan gaji pokok Hakim pada pengadilan tingkat pertama dan hakim tingkat banding.

Ok, kita kembali ke masa, dimana gaji pokok Hakim, yang meski saat itu berstatus PNS, karena tugas dan tanggung jawabnya berbeda dengan PNS diberikanlah jaminan hidup berupa gaji pokok tersendiri. Rerata dua kali lipat gaji pokok PNS. Maka sejak saat itu, setidaknya ada pengaturan berbeda antara PNS, PNS yang menjalankan kekuasaan kehakiman bernama Hakim, dan satu lagi pejabat negara, yang didalamnya termasuk Hakim Agung.

Apakah ketika gaji pokok Hakim diatur tersendiri, gaji pokok Hakim Agung pernah juga diatur tersendiri terpisah dari pejabat negara lainnya? Jawabnya pernah. Untuk Hakim (tingkat pertama dan banding) mendasarkan pada PP Nomor 8 Tahun 2000 mengatur mengenai gaji pokok Hakim. Sedangkan dalam PP Nomor 9 Tahun 2000 juga mengatur gaji pokok Hakim Agung secara tersendiri. Jika Hakim terpisah dari PNS, maka untuk Hakim Agung terpisah dari pejabat negara lainnya. Berbeda pengaturan tentu berbeda pula soal besaran gaji pokoknya.

Masih di tahun yang sama, ternyata dengan keluarnya PP Nomor 75 Tahun 2000, gaji pokok Hakim Agung disatukan kembali pengaturannya dengan gaji pokok pejabat negara. Artinya besarannya menjadi sama sesuai dengan jabatan pimpinan ataupun anggota lembagi tertinggi/tinggi negara yang lain. Sama-sama pejabat negara, mungkin demikian pertimbangannya.

Lalu bagaimana dengan Hakim? Pengaturan yang berbeda dengan PNS membawa konsekuensi kebutuhan pembaharuan apabila terdapat kenaikan gaji pokok. Sebagaimana PNS yang setiap tahun mendapat kenaikan, maka demikian pula PP yang mengatur gaji pokok Hakim juga mengalami perubahan untuk menyesuaikan kenaikan gaji. Meski tidak setiap tahun, setidaknya tercatat beberapa PP terkait hal tersebut.

Jika tidak salah, terakhir PP yang mengatur secara tersendiri gaji pokok Hakim adalah PP Nomor 11 Tahun 2008 yang merupakan perubahan kelima dari PP Nomor 8 Tahun 2000. Konsekuensinya gaji pokok Hakim juga mengalami perubahan, sebagaimana gaji pokok PNS. Dan, dengan penyesuaian tersebut maka gaji pokok Hakim masih berbeda dengan gaji pokok PNS.

Lalu dimana persoalannya? Waktu ternyata yang menjawab, karena perjalanan waktu, dimana aturan mengenai gaji pokok PNS terus berubah menyesuaikan kenaikan gaji, sedangkan untuk Hakim ternyata tidak mengalami perubahan sejak terakhir tahun 2008 tersebut. Imbasnya, gaji pokok Hakim menjadi lebih kecil dibandingkan gaji pokok PNS berdasarkan PP Nomor 15 Tahun 2012. Dan, sebagaimana kita ketahui bersama muncullah “protes” atas “ketidakadilan” tersebut.

Imbasnya, muncullah PP Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang berada di bawah Mahkamah Agung. Apakah mengatur tersendiri gaji pokok Hakim, yang sudah jelas-jelas disebut pejabat negara? Ternyata oh ternyata tidak, gaji pokok Hakim hanya disesuaikan agar sama dengan gaji pokok PNS. Sampai kemudian diajukan uji materiil dan dinyatakan gaji pokok Hakim yang diatur sama dengan PNS adalah bertentangan dengan hukum.

Hakim, PNS dan Pejabat Negara

Ya, sudah kembalikan saja aturan gaji pokok hakim seperti sebelumnya. Buat aturan tersendiri, terpisah dari aturan gaji pokok PNS. Tentu berikut besaran angka-angkanya, jika perlu angkanya sebagaimana yang dulu pernah, rerata dua kali lipat gaji Pokok PNS. Mudah kan? Iya, sih, cuma jangan lupa, ternyata ada pengaturan tersendiri untuk gaji pokok Pejabat Negara lainnya.

Apa masalahnya? Masalahnya adalah soal besaran gaji pokok. Kenapa? Karena untuk Pejabat Negara lainnya (tentu termasuk Pimpinan dan Hakim Agung) terakhir diatur dalam PP Nomor 75 Tahun 2000. Kan jadi nga lucu, semisal gaji pokok Hakim yang baru dilantik lebih besar dibanding gaji pokok Ketua Mahkamah Agung yang tentu tugas dan tanggung jawabnya berbeda? Itu jika memakai asumsi mengatur kembali gaji pokok Hakim dengan aturan tersendiri dan besarannya dipukul rata semisal dua kali gaji PNS.

Ya sudah, samakan saja gaji pokok Hakim dengan aturan Pejabat Negara lainnya. Anggap saja dibuat sedikit lebih kecil dari Hakim Agung, begitu seterusnya untuk Hakim Tinggi dan Hakim Tingkat Pertama. Bisa sih, Cuma ternyata untuk pejabat negara lainnya, gaji pokoknya tidak mengenal pangkat dan golongan sebagaimana gaji pokok Pejabat Negara bernama Hakim ini. Jika menggunakan itu maka, gaji pokok Hakim akan sama dari sejak dilantik nanti sampai pensiun. Demikian kira-kira jika menggunakan asumsi menyamakan pejabat negara Hakim dengan yang lainnya.

Hmm repot juga ya soal gaji pokok pejabat negara bernama hakim ini. Karena ternyata ada pengaturan mengenai gaji pokok PNS, ada pula pengaturan mengenai gaji pokok Pejabat Negara dan gaji pokok Pejabat Negara bernama Hakim. Disamakan dengan PNS bertentangan dengan UU, disamakan dengan Pejabat Negara lainnya, Hakim punya karakteristik yang berbeda. Ya, sudah biarkan saja.

Eit tapi tunggu dulu, apakah hanya ada gaji pokok PNS dan gaji pokok Pejabat Negara itu? Sepertinya tidak deh, masih ada pengaturan mengenai gaji pokok Presiden dan Wakil Presiden. Diatur tersendiri bahkan dalam bentuk undang-undang. Sudah lama sih, yaitu UU Nomor 7 Tahun 1978 tentang Hak Keuangan dan Administratif Presiden dan Wakil Presiden serta bekas Presiden dan Wakil Presiden.

Ada beberapa hal menarik pengaturan mengenai gaji pokok Presiden dan Wakil Presiden ini. Pertama, karena diatur dalam UU sehingga tidak pernah mencantumkan besaran gaji pokok untuk Presiden dan Wakil Presiden. Lalu darimana besaran gaji pokok dapat diketahui? Dalam Pasal 2 UU tersebut hanya menyebutkan gaji pokok untuk Presiden adalah enam kali lipat gaji pokok tertinggi Pejabat Negara selain Presiden dan Wakil Presiden. Sedangkan untuk Wakil Presiden adalah sebesar empat kali. Nah untuk besaran angkanya ya tinggal kalikan saja besaran gaji pokok tertinggi pejabat negara. Untuk saat ini ya merujuk pada PP Nomor 75 Tahun 2000.

Kedua, yang menarik berikutnya adalah besaran gaji pokok yang diterima setelah pensiun. Bekas Presiden dan Wakil Presiden menerima utuh atau 100 persen besaran gaji pokok yang diterima terakhir. Nah karena PP Nomor 75 Tahun 2000 belum berubah, berarti dari saat itu sampai sekarang besaran gaji pokok pensiun masih sama angkanya.

Lah, lalu apa hubungannya dengan gaji pokok Hakim? Nah, jika tadi asumsi kita hanya ada pilihan aturan gaji pokok Pejabat Negara, gaji pokok PNS dan (pernah) ada aturan mengenai gaji pokok Hakim. Kenapa misalnya tidak kita sederhanakan saja soal gaji pokok ini dalam satu aturan?

Kan bukan tidak mungkin hanya butuh aturan gaji pokok PNS yang tentu saja bisa eh harus berubah setiap tahun. Dan berikutnya gaji pokok Pejabat Negara, Pejabat Negara bernama Hakim dan Presiden serta Wakil Presiden. Cara menghitung besarannya? Ya cukup pakai perkalian dari gaji pokok PNS tertinggi. Kali berapa, ya tinggal dibuat misalnya untuk Pejabat Negara yang memangku jabatan struktural dan seterusnya sampai dengan anggota misalnya. Untuk Pejabat Negara bernama Hakim? Kan masih ada pangkat dan golongan Hakim? Ya tinggal sesuaikan saja besaran angka perkaliannya, bisa satu kali, satu setengah kali atau satu perempat kali dan seterusnya sesuai pangkat, golongan maupun jabatan. Mudah bukan?

Lah kog jadi bawa-bawa Pejabat Negara lainnya? Soalnya klo hanya Pejabat Negara bernama Hakim yang diatur tersendiri, maka untuk besaran angka gaji pokok akan terbentur pada besaran gaji pokok tertinggi Pejabat Negara lainnya. Lagi-lagi jika hanya mengatur gaji pokok Hakim ansich, untuk Pejabat Negara lainnya bisa saja berdalih Hakim adalah pemegang kekuasaan kehakiman, tapi bagaimana dengan Pimpinan dan Hakim Anggota di Mahkamah Agung, yang notabene besaran gaji pokoknya juga diatur dalam PP Nomor 75 Tahun 2000 itu juga. Bingung kan?

Nah, jika untuk besaran gaji pokok bisa diatur demikian, maka kenapa tidak sekalian untuk gaji pokok ketika pensiun? Kenapa untuk Pejabat Negara, termasuk Hakim tidak diatur sebagaimana bekas Presiden dan Wakil Presiden yang menerima pensiun sebesar gaji pokok yang terakhir diterima? Ya setidaknya sebagai bentuk penghargaan dan berbeda dari pensiun PNS. Bukankah status yang disandangnya juga berbeda? Pejabat Negara.

Penutup

Sudah panjang nampaknya, bahasan soal gaji pokok ini. Ada yang mengatur tentang PNS, ada yang mengatur tentang Pejabat Negara, pernah ada pula yang mengatur tentang Hakim dan yang paling menarik menurut saya yang yang mengatur tentang Presiden dan Wakil Presiden itu.

Siapa tahu bisa jadi wacana untuk didiskusikan lebih mendalam. Menyederhanakan pengaturan mengenai gaji pokok dari berbagai jabatan tadi. Siapa tahu Pejabat Negara lainnya juga tertarik, terlebih yang terseleksi melalui proses politik. Mumpung belum menjadi bekas, karena segala macam tunjangan jabatan akan menghilang, jangan sampai kemudian gaji pokokpun terjun bebas hingga membuat sesak nafas. Semoga.

Kayuagung, 31 Januari 2024. Sebuah sore ketika ternyata besok juga akan menerima gaji pokok di tempat baru ini.

PRODUKSI PENGHUNI PENJARA

“Terima, Yang Mulia,” suara yang nyaris tidak terdengar, tenggelam oleh kata sama terlontar dari wanita dengan toga hitam lantang. Seorang pria dengan kemeja putih yang disana-sini sudah memudar agak kecoklatan, berdiri dari kursi ‘pesakitan’. Kursi yang terletak di tengah-tengah meja ‘hijau’, meja tempat dimana mereka yang disebut Yang Mulia menjalankan tugasnya. 

Kembali mengenakan rompi orange bertuliskan tahanan kejaksaan, setelah tangan diborgol berjalan keluar ruang sidang. Setelah membungkuk untuk menghormat, dengan kawalan petugas keamanan bersenjata, terpidana berjalan keluar ruang sidang. Meski dengan kepala tertunduk, tatapan sayu mata terpidana melirik kepada orang-orang dengan pakaian yang sama, baju putih menunggu giliran bersidang. Menunggu putusan, putusan untuk menjadi penghuni penjara. Narapidana.

— 

Persidangan pengadilan, terutama perkara pidana, sebagai sebuah proses penegakan hukum pidana, acapkali berujung pada penjatuhan sanksi pidana berupa pidana penjara. Seiring dengan peningkatan profesionalisme aparat penegak hukum, terutama penyidik dan penuntut umum menjadikan proses persidangan berjalan semakin baik dibandingkan sebelumnya. 

Proses persidangan berjalan relatif lebih cepat, sederhana dan berbiaya ringan sebagaimana yang dikehendaki asas. Kecukupan pembuktian yang diajukan di persidangan, lebih dari cukup untuk memunculkan keyakinan hakim akan keterbuktian peristiwa pidana dan kebersalahan terdakwa sehingga cukup pula menjadi dasar bagi penjatuhan pidana penjara karenanya.

Imbasnya prosentase terpidana (dan/atau penuntut umum) yang menerima apa yang diputuskan oleh Majelis Hakim (baca: pengadilan) semakin hari semakin meningkat. Saat ini, lebih dari 90% putusan atas perkara pidana yang diadili di pengadilan berkekuatan hukum tetap karena tidak dilakukan upaya hukum. Dan, lebih dari 90% pula pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara. Apa artinya, dari waktu ke waktu pengadilan terus menerus memproduksi penghuni penjara.

— 

Pemasyarakatan, sebagai lembaga ‘penampung’ dan penanggung jawab apa yang diproduksi proses penegakan hukum pidana juga mengalami berbagai kendala. Salah satunya adalah masalah overcrowded, tidak semata persoalan kelebihan kapasitas, yang kemudian melahirkan persoalan-persoalan turunan yang tidak kalah rumit. Masalah yang dari waktu ke waktu belum juga mendapatkan jalan keluar, berlangsung terus menerus tanpa pernah dapat diatasi dengan tuntas.

“Masalah fundamental dan sistemik bagi penyelenggaraan layanan pemasyarakatan,” sebagaimana dikatakan Direktur Jenderal (Dirjen) Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Reynhard Silitonga. Per 12 Juni 2023 kapasitas hubuan rutan dan lapas 140.424 orang dan jumlah penghuninya mencapai 269.263 orang. Tingkat overcrowded sudah mencapai 92%,” ujarnya lebih lanjut.

— 

Pemidanaan yang dijatuhkan terhadap orang yang terbukti melakukan tindak pidana adalah bentuk pertanggungjawaban pidana. Dari teori absolut yang memandang pidana (baca: penjara) adalah semata sebagai bentuk pembalasan maupun teori relatif yang melihat ke depan, pencegahan agar tidak terulan terjadinya tindak pidana atau prevensi, baik khusus maupun umum, sampai pada teori yang menggabungkan keduanya kesemuanya sampai saat ini masih dilihat dari berapa lama pidana penjara yang dijatuhkan. 

Pidana penjara masih menjadi “pilihan utama” dalam penjatuhan pidana dibandingkan dengan pilihan pidana pokok lainnya. Diakui atau tidak, suka atau tidak suka, pidana penjara masih mendominasi amar putusan dalam perkara pidana selama ini. 

Dampaknya, overcrowded menjadi masalah fundamental dan sistemik bagi penyelenggaraan layanan pemasyarakatan sampai dengan saat ini.

Dan, ketika pemasyarakatan menjalankan fungsinya, tetap saja reaksi negatif muncul semisal ada narapidana yang telah memenuhi syarat tertentu mendapatkan haknya. Pengurangan hukum dalam momen-monen tertentu atau bahkan pembebasan bersyarat misalnya.

Bisa jadi panjang ceritanya.

— 

Baiklah, jika menengok pada KUHP baru rasanya tujuan pemidanaan jadi makin luas. Tidak saja mencegah dilakukannya tindak pidana, tetapi juga untuk memasyarakatkan kembali terpidana. Selain itu pidana yang dijatuhkan juga diharapkan dapat menumbuhkan rasa penyesalan bahkan untuk membebaskan rasa bersalah. Tapi dari semua itu, yang menarik adalah memulihkan keseimbangan ‘kosmis’, istilah yang selama ini dikenal dalam hukum adat. Mungkin karena itu pula kemudian memunculkan istilah korektif, rehabilitati dan restoratif.

Dan yang jelas semua itu memberikan ‘beban’ lebih kepada pengadilan (baca: hakim) ketika akan menjatuhkan pidana. Bisa jadi tidak cukup lagi ‘template’ hal-hal yang memberatkan dan meringankan seperti yang dikenal selama ini. Tidak percaya? Baca saja KUHP baru.

Pemalang, 1 Desember 2023. Beberapa saat setelah tersadar ternyata hari ini gajian.

MEMAHAMKAN (5) TAMAT

Lo katanya sudah tamat? Iya memang sudah tamat pelatihannya, tapi rasanya kurang lengkap jika tidak ada output sebagai bentuk aksi perubahan. Nah kali ini dapat dipastikan akan berbeda-beda setiap peserta tentunya. Meski demikian outcame yang hendak dituju adalah sama, apa itu? peningkatan kinerja organisasi.

Digitalisasi pengiriman produk pengadilan dalam perkara pidana menjadi pilihan gagasan aksi perubahan. DIpilih karena sejalan dengan pemanfaatan teknologi informasi yang terus digalakkan Mahkamah Agung, Administrasi Perkara secara elektronik adalah salah satunya. Hal tersebut berangkat dari Peningkatan Efektifitas Pengelolaan Penyelesaian Perkara sebagai salah satu sasaran kerja dipilih karena merupakan perwujudan tugas pokok dan fungsi pengadilan. Penyampaian putusan yang dapat disampaikan secara tepat waktu adalah merupakan salah satu indikator kinerja utama yang ditetapkan.

Bingung ya? sama. Baiklah akan kita sederhanakan. Singkatnya, saat ini dalam perkara perdata, administrasi perkara secara elektronik telah berkembang begitu pesat. Dari yang semula hanya persoalan administrasi perkara berupa perjalanan perkara telah berkembang begitu pesat dan merubah cara-cara persidangan. Dari yang semula hanya mengganti register manual, telah bergeser menjadi pendaftaran perkara, pembayaran biaya perkara, panggilan perkara hingga saat ini persidangan perkara berikut dokumen termasuk produk pengadilan yang menyertainya berubah dari manual menjadi digital. Bahkan terbaru untuk panggilan bagi yang tidak bersedia e-litigasi atau persidangan elektronik, ‘dipaksa’ pula berubah dan disimplikasi dengan surat tercatat. Demikian kira-kira untuk perkara perdata, lalu bagaimana untuk perkara pidana.

Persidangan perkara pidana juga ‘dipaksa’ berubah karena keadaan, covid-19, dengan persidangan secara daring, setelah sebelumnya administrasi pencatatan perjalanan perkara juga telah dilakukan secara elektronik melalui sistem administrasi perkara secara elektronik (SIPP) sebagai bagian dari Sistem Informasi Pengadilan (SIP). Tapi yang tidak mudah dirubah adalah berkas perkara pidana masih manual atau paperbase. Kenapa? karena tentu saja proses menghasilkan berkas perkara pidana melibatkan banyak pihak dalam integrated criminal justice system.

Gagasan besar soal integrated criminal justice system secara elektronik melalui SPPT-TI telah lama digulirkan, hanya saja ya itu, melibatkan banyak stakeholder dengan berbagai aplikasi internal menyebabkan tidak mudah mengintegrasikannya. Kebutuhan akan perubahan internal yang telah dicanangkan, Mahkamah Agung tentu tidak dapat terus menunggu, e-berpadu menjadi gagasan mendigitalisasi berkas perkara pidana. Saat ini, berkas perkara pidana yang berasal dari penyidik, berikut surat dakwaan berikut kelengkapannya sebagai produk penuntutan telah dapat digitalisasi. Bahkan untuk beberapa produk pengadilan terkait dengan proses pra persidangan berupa, penetapan sita, penggelesahan maupun ijin bezuk telah jauh lebih maju, digitalisasi produk tidak berupa hasil scan berkas manual melainkan telah dilengkapi tanda tangan elektronik. Sah dan lengkap rasanya disebut berkas elektronik jika begitu.

Lalu bagaimana produk pengadilan terkait proses persidangan? Nah bagian ini yang menjadi ‘garapan’ proyek perubahan yang dijalankan. Apa saja itu, penetapan hari sidang, penahanan selama proses persidangan, kutipan putusan sampai dengan salinan putusan adalah produk-produk pengadilan dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi sampai saat ini masih bersifat manual, paperbase. Meski semua produk tersebut telah diinput dan ada pada Sistem Informasi Pengadilan. Tidak cuma itu, kebijakan penganggaran juga masih manual, apa buktinya? Lihat saja, dalam anggaran satuan kerja masih terdapat alokasi pengiriman produk-produk pengadilan tersebut secara manual.

Bagaimana merubahnya? Ya mengoptimalkan Sistem Informasi Pengadilan pada Sistem Informasi Penelusuran Perkara sebagai basis data. Apa bentuknya, ya membuat aplikasi yang dapat menjembatani optimalisasi pemanfaatan basis data tersebut. SIngkatnya, semua produk pengadilan dalam perkara pidana selama proses persidangan tersebut harus dapat dikirimkan secara digital, tidak lagi manual. Dengan apa? cara termudah adalah dengan domisili elektronik ataupun sejenisnya yang lebih mudah, pesan whatsapp misalnya. Bukankah saat ini keduanya juga telah dimanfaatkan dalam perkara perdata?

Penetapan hari sidang misalnya, bukankah data untuk itu telah diinput di Sistem Informasi Pengadilan, hanya saja saat ini setelah Hakim menginput, Panitera Pengganti harus mencetaknya, meminta tanda tangan Hakim, menyerahkan ke Jurusita untuk kemudian mengirimkannya ke Penuntut Umum? Dengan teknologi informasi, hal tersebut disimplikasi dengan aplikasi yang kami sebut DIGI-PIDANA (Digitalisasi Pengiriman Produk Pengadilan Dalam Perkara Pidana). Jadi, ketika Hakim menginput penetapan hari sidang, maka saat itu pula DIGI-PIDANA akan mengirimkan apa yang diinput dalam SIPP tersebut langsung kepada Penuntut Umum secara elektronik. Simple bukan? Tidak ada lagi alasan belum menerima penetapan hari sidang. Cocok lah sebagai perwujudan asa peradilan cepat, sederhana dan berbiaya ringan. Untuk produk lainnya? Penetapan Penahanan, Kutipan Putusan dan Salinan Putusan bagaimana, sama saja karena semua sudah ada di Sistem Informasi Pengadilan.

Apakah benar nyata dapat berjalan? Dalam jangka pendek, aksi perubahan telah dapat diwujudkan dengan adanya aplikasi DIGI-PIDANA. Tadinya ditarget adalah pemberitahuan penetapan hari sidang, eh ternyata untuk penetapan penahanan telah dapat pula dijalankan. Karena harus memudahkan, maka pada tahap ini pemberitahuan disampaikan melalui pesan whatsapp. Lalu bagaimana penetapannya apakah masih dikirimkan? Ke depan, penambahan menu untuk itu telah disiapkan, hanya untuk peralihan tentu masih ada ‘tindakan’ tambahan yang harus dilakukan pada tahan ini. Semisal tanda tangan masih manual, mendigitalisasi berkaa tersebut untuk selanjutnya baru dikirimkan. Tapi yakin, kelengkapan tangan tangan digital untuk kesemua berkas tersebut hanya soal waktu.

Lalu bagaimana dengan e-Berpadu yang merupakan aplikasi pusat? Lokal saja mau ngalah-ngalahin. Nga juga sih, dalam bayangan sih nantinya akan dapat kolaborasi untuk mengakselerasi saja. Karena selain basis data saja, kembali untuk simplikasi sebaiknya memang tidak perlu banyak aplikasi, apalagi bersifat lokal. Tapi sambil menunggu itu, ijinkan kami Pengadilan Negeri Pemalang memanfaatkan aplikasi DIGI-PIDANA untuk meningkatkan efektifitas pengelolaan penyelesaian perkara.

O iya, selain simplikasi tadi, biasanya ukuran keberhasilan aksi perubahan adalah soal penghematan anggaran yang dapat dilakukan. Gini deh mudahnya, hitung saja anggaran untuk pengiriman penetapan hari sidang, penetapan penahanan, pengiriman kutipan dan salinan putusan pada setiap pengadilan, jika tidak salah ada puluhan juta untuk setiap pengadilan. Terbayang kan, jika kemudian e-Berpadu mengakomodir hal itu, kalikan saja puluhan juta rupiah itu dengan jumlah satuan kerja yang ada. Banyak saya rasa. Sudah itu saja. Tamat. Beneran klo yang ini tamatnya atau anggap saja sebagai lampiran, evidence aksi perubahan yang dilakukan selama pelatihan. Terima kasih.

Masih di Megamendung, 7 Agustus 2023. Tadinya mau upload setelah penutupan tapi sebelum saja deh.

MEMAHAMKAN (4)

Masih lanjutan yang kemaren ya. Setelah semua rancangan aksi perubahan dipresentasikan dan mendapat berbagai masukan, maka harus diimplementasikan di satuan kerja masing-masing peserta. Dua bulan lamanya, dari awal sampai terwujud apa menjadi rencana jangka pendek.

Baiklah untuk mempersingkat, maka perjalanan dua bulan menerapkan rencana aksi perubahan itulah yang harus dilaporkan. Detail tahapan kegiatan berikut bukti nyata dan tentu saja output jangka pendek itu. Apa saja detail laporan itu? Demikian kira-kira pertanyaan ketika melihat contoh-contoh sebelumnya yang tebailnya tidak kalah tebal dengan berkas perkara pidana. He…he

Setelah menyelesaikan seminar laporan aksi perubahan, ternyata hanya ada tujuh item penilaian atas laporan aksi perubahan. Pertama adalah tercapai tidaknya target jangka pendek yang direncanakan. Harusnya Cuma tercapai atau tidak tercapat jawabannya. Hanya buktinya yang jadi banyak. Karena apa, karena yang harus dibuktikan adalah proses kepemimpinan dalam mencapai target jangka pendek sebagaimana yang direncanakan. Selain karena detail tahapan yang harus dijalankan berbanding lurus dengan dokumen termasuk foto yang membuktikan kegiatan.

Kedua adalah hasil proses kepemimpinan kinerja. Apa artinya proses jika tidak mendapatkan hasil, demikian kira-kira. Hasil ini tentu harus kongkrit dan terukur. Dengan apa? ya tentu dengan bukti-bukti yang nyata pula. Selain capaian berdasarkan target setiap jangka, pendek, menengah dan panjang, tentu juga terwujudnya kondisi ideal yang diinginkan. Terdapat ukuran yang tercapat dalam berproses disini, soal membangun akuntabilitas dan integritas maupun mengelola budaya kerja juga membangun jejaring kerja dan kolaborasi.

Berikutnya masih menjadi bagian kepemimpinan kinerja, dan ini tidak kalah penting adalah apakah selama proses pada bagian pertama dan kedua tadi telah menerapkan seluruh prinsip kepemimpinan. Banyak jenis dan ragamnya, tapi satu yang menarik menurut saya adalah simplikasi. Bahasa mudahnya adalah menyederhanakan proses bisnis, tentu untuk meningkatkan kinerja. Proses menerapkan prinsip kepemimpinan ini yang tentu menjadi hal yang harus dibuktikan karena itulah yang dinilai.

Setelah berproses, mendapatkan hasil dan menerapkan prinsip kepemimpinan berikutnya adalah adalah membawa manfaat? Ukurannya adalah kembali kepada permasalahan organisasi, selain tentu saja apakah manfaat itu juga jalan untuk mengantisipasi perubahan. Manfaat yang paling utama tentu untuk pelayanan masyarakat, organisasi, pimpinan dan karena ini pelatihan maka juga harus membawa manfaat untuk peserta. Manfaat ini harus terukur baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Terukur dengan angka-angka, paling mudah tentu potensi penghematan anggaran. Semisal yang tadinya berbiaya menjadi tidak berbiaya. Atau yang tadinya dikerjakan oleh beberapa orang menjadi lebih sederhana,karena dapat dikerjakan satu orang misalnya, dan lain sebagainya. Banyak yang bisa ditampilkan untuk membuktikan manfaat ini. Itu menjadi bagian ketiga unsur penilaian. Aksi perubahan menjadi alat menghilangkan gab antara kondisi sekarang dan kondisi yang diinginkan.

Sedangkan yang keempat adalah keberlanjutan. Tentu saja dengan berbagai manfaat yang didapat dari terselesaikannya rencana jangka pendek, maka keberlanjutannya juga harus dapat dibuktikan. Keberlanjutan untuk mewujudkan target jangka menengah dan panjang tentu saja. Bagaimana caranya? Tentu dengan persetujuan mentor atau atasan langsung, selain itu sosialisasi dan dukungan stakeholder juga menjadi hal yang harus dibutuhkan. Nah, karena kepemimpinan kinerja yang dijalankan, maka keberlanjutan menjadi bagian dari manajemen kinerja. Masuk dan menjadi bagian Sasaran Kinerja Pegawai menjadi salah satu jaminan akan keberlanjutan mewujudkan target di jangka menengah dan panjang.

O iya, karena pemimpin tentu bukan manusia sempurna, maka strategi pengembangan diri yang telah direncanakan juga harus dapat seluruhnya dilaksanakan. Berbagai cara dan strategi semisal mentoring, coaching,komunikasi, memimpin harus terus dikembangkan. Dalam menjalani proses mencapai target jangka pendek, maka peserta harus dapat melaksanakan seluruh strategi pengembangai diri. Pengembangan diri tersebut baik dari sisi integritas, kerjasama maupun mengelola perubahan itu sendiri. hal tersebut menjadi poin kelima penilaian.

Selain mata pelatihan yang menjadi bagian pengembangan baik kompetensi ini maupun kompetensi ini, peserta juga harus dapat memilih dan menarik keterkaitan aksi perubahan dengan kompetensi pilihan. Setidaknya tiga mata pelatihan yang masuk kompetensi pilihan ini. Keterkaitan ini juga harus dibuktikan dalam laporan aksi perubahan. Inilah yang menjadi inti penilaian pada poin enam.

Dan, terakhir atau poin ketujuh penilaian adalah persoalan diseminasi dan publikasi atas keberhasilan aksi perubahan jangka pendek. Apakah artinya keberhasilan aksi perubahan jika tidak diketahui oleh stakeholder baik internal apalagi eksternal. Publikasi menjadi penting dan yang lebih penting lagi adalah ketepatan serta pemanfaatan sarana yang modern. Dukungan stakeholder yang massif menjadi ukuran penilaian poin terakhir ini.

Demikian proses panjang yang harus dijalani untuk peningkatan kinerja. Langkah dan tahapan serta proses yang runut dan benar menjadi penting ketika mewujudkan hasil aksi perubahan yang diinginkan. Bisa jadi itu yang kemudian menjadi bahan penilaian, setidaknya dari tujuh poin penilaian, karena hasil aksi perubahan sendiri ternyata hanya merupakan salah satu dan bukan satu-satunya. Ah, sudahlah, cukup sekian dan terima kasih. Tamat.

Megamendung, 6 Agustus 2023. Suatu malam sebelum penutupan.

MEMAHAMKAN (3)

Kita lanjutkan kembali. Maaf agak lama memang. Kemaren terakhir sampai ke lessons learned ya? Artinya kira-kira peserta pelatihan harus dapat memetik pelajaran dari praktek terbaik yang ditemui ketika studi lapangan.Karena ini pelatihan kepemimpinan, maka kepemimpinan dan inovasi layanan menjadi dua hal yang rasanya tidak dapat diabaikan.

Baiklah, untuk itu kedua hal tersebut yang kemudian harus diwujudkan peserta dalam bentuk rancangan aksi perubahan. Dalam rancangan tersebut tidak saja tahapan dan langkah demi langkah kepemimpinan dalam rancangan aksi perubahan berbentuk inovasi layanan dituangkan. Rancangan aksi perubahan ini yang kemudian diuji melalui seminar, ada penguji ada mentor dan tentu saja ada coach.

Apa isi rancangan aksi perubahan itu? Secara garis besar berisi latar belakang, diagnosa organisasi, inovasi, tahapan dan manajemen resiko, pemanfaatan sumber daya dan strategi pengembangan potensi diri.

Baiklah kita detailkan satu persatu secara singkat. Pertama, soal latar belakang. Karena yang menjadi tujuan adalah peningkatan kinerja, maka peserta harus dapat memastikan kinerja apa yang harus ditingkatkan dan kenapa? Tentu kondisi saat ini dan kondisi yang diharapkan harus dapat terukur dan diuji, untuk mudahnya ya harus dengan angka-angka. Berikutnya, kedua adalah diagnose organisasi. Gap atau kesenjangan antara kondisi saat ini dan kondisi yang diharapkan itulah yang kemudian dilakukan analisa organisasi. Banyak alat yang dapat dipergunakan untuk itu, dari APKL, USG, Fishbone hingga Mc Namara atau lainnya. Hasil diagnose organisasi adalah menemukan apa yang menjadi masalah dan kebutuhan utama untuk peningkatan kinerja organisasi. Kenapa ini harus dilakukan, karena bisa jadi begitu banyak masalah dan kebutuhan organisasi. Peserta cukup menemukan satu, tentu yang sesuai dengan jabatan peserta saat ini.

Seluruh proses di atas tersebut menghasilkan langkah ketiga yaitu rencana aksi yang dibuat adalah benar-benar tepat untuk meningkatkan kinerja organisasi. Keempat, setelah ditemukan gagasan dalam bentuk rencana aksi perubahan ditemukan dan ditentukan, lalu diuji apakah hal tersebut merupakan inovasi? Apa ukurannya, sederhana saja yaitu memberikan nilai tambah untuk organisasi, memiliki unsur kebaruan, dapat diduplikasi atau diterapkan oleh yang lain, berkelanjutan dan tentu saja harus sejalan dengan kebijakan organisasi. Selanjutnya kelima, melakukan perubahan tentu membutuhkan waktu, untuk itu dibuatkan tahapan, langkah berikut target yang hendak dicapai. Jangka pendek, menengah dan panjang. Untuk memastikan keberhasilan, tentu setiap tahapan dan langkah juga harus disertai dengan mitigasi resiko.

Keenam, apakah perubahan dapat diwujudkan sendiri? O tentu tidak ferguso (mode sinetron on). Namanya diklat kepemimpinan, berarti ada sumber daya manusia, dan tentu saja sumber daya lainnya yang harus dapat dioptimalkan. Mulai tim efektif, stakeholder baik internal ataupun eksternal berikut jejaring kerja dan yang tidak boleh dilupakan teknologi informasi. Ingat ya yang terakhir ini, suka atau tidak suka telah banyak merubah mekanisme kerja selama ini. Jadi inovasi dalam rancangan aksi perubahan juga harus dapat memanfaatkan teknologi informasi untuk meningkatkan kinerja. Klo lingkungan peradilan ya untuk mewujudkan asas peradilan yang sederhana, cepat dan berbiaya ringan. Hakim, Kepaniteraan dan Kesekretariatan didorong untuk itu.

Nah karena ketiga kelompok fungsi di lingkungan pengadilan terdiri dari individu-individu, termasuk dan tidak terbatas peserta pelatihan ini, maka harus dapat mengembangkan potensi dirinya, terlebih mereka yang mendapat beban lebih sebagai pimpinan. Rancangan aksi perubahan yang disusun harus dapat menggambarkan rencana pengembangan potensi diri itu.

Kesemuanya itu harus dapat dipresentasikan dengan baik. Masukan penguji, dorongan coach dan persetujuan mentor menjadi penanda peserta harus bersiap memulai gagasan besar, melakukan aksi perubahan untuk peningkatan kinerja organisasi.

Tadinya mau tamat, tapi kayaknya belum selesai jadi bersambung juga ya.

Megamendung, 2 Agustus 2023 ketika terbangun pada sebuah malam.

MEMAHAMKAN (2)

Kita lanjutkan, kemaren sampai ke best practice ya? Ya, praktek terbaik sendiri adalah bagian dari agenda empat, yaitu aktualisasi kepemimpinan atas berbagai teori dan konsep yang terdapat dalam modul-modul pembelajaran sebelumnya. Aktualisasi kepemimpinan yang menghasilkan kinerja organisasi. Teori dan konsep kepemimpinan tersebut terbagi menjadi tiga agenda pembelajaran yang teraktualisasi. Apa saja itu?

Pertama adalah agenda kepemimpinan Pancasila dan nasionalisme. Terdapat dua modul pembelajaran pada agenda ini, wawasan kebangsaan dan bela negara. Cita ideal bagaimana negara menjalankan tugasnya dan bagaimana pula para aparaturnya harus bersikap membelanya. Membela agar tugas pokok dan fungsi negara benar nyata ada. Begitu kira-kira, begitu abstrak dirasa. Tetapi memang seperti itu adanya seharusnya, melandasi setiap niatan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi aparatur negara dalam segala tingkatannya.

Agenda berikutnya adalah kepemimpinan kinerja. Bagaimana peranan kepemimpinan dalam mewujudkan kinerja organisasi. Ada empat modul pembelajaran dalam agenda kedua ini. Manajemen perubahan sector publik dalam menjawab semakin tingginya tuntutan atas kehadiran negara dalam segala bentuknya menjadi modul pembelajaran pertama. Bagaimana cara-cara kerja menuntut perubahan menjadi lebih efektif dan efisien diwujudkan. Selanjutnya adalah kepemimpinan transformasional, bagaimana peranan pimpinan, dalam segala tingkatannya mewujudkan perubahan dibahas tuntas. Kompleksitas perubahan menuntut penyelesaian tidak lagi dapat bersifat individual. Dengan jejaring kerja, kompleksitas perubahan dapat diurai dan bangunan jejaring kerja akan terwujud dengan komunikasi yang efektif. Ketiganya tertuang dalam modul pembelajaran dalam bingkai agenda pembelajaran kedua, kepemimpinan kinerja.

Setelah melihat bagaimana memunculkan kepemimpinan kinerja, berikutnya adalah manajemen kinerja yang terbingkai dalam agenda tiga. Agenda dengan modul pembelajaran yang lumayan banyak. Bagaimana kepemimpinan kinerja melakukan manajemen kinerja dalam sebuah organisasi. Akuntabilitas kinerja menjadi modul pembelajaran pertama dalam agenda tiga ini. Bagaimana organisasi tidak saja mempertanggunjawaban kinerjanya, tetapi juga melibatkan seluruh stakeholder dalam menjawab tuntutan yang ada. Membangun hubungan kelembagaan menghindarkan ego sektoral dalam menjawab kompleksitas tuntutan pelayanan seiring perkembangan jaman. Perkembangan teknologi informasi menjadi salah satu tuntutan yang harus dapat dijawab oleh organisasi sektor publik. Bagaimana sebuah organisasi dapat menjelma menjadi organisasi digital untuk efektifitas kinerja. Kinerja yang harus terus dikelola untuk meningkat secara berkelanjutan dalam manajemen kinerja menjadi dua modul pembelajaran berikut. Menjawab tuntutan atas pelayanan yang terstandar tentu harus didukung pula manajemen pengangaran oleh negara dalam mendukung kerja-kerja yang menghasilkan kinerja. Bagaimana risiko dapat dimitigasi menjadi modul pembelajaran dalam manajemen risiko. Memastikan tercapainya tujuan organisasi tidak terhalang oleh berbagai potensi risiko yang tidak saja harus dapat dipetakan sebelumnya, tetapi juga dipersialkan Langkah-langkah mitigasinya.

Lalu apa hubungannya agenda pembelajaran kepemimpinan Pancasila dan nasionalisme, kepemimpinan kinerja dan manajemen kinerja dengan studi lapangan? Demikian kira-kira pertanyaannya? Ya, seperti telah disampaikan sebelumnya, apakah benar ketiga agenda pembelajaran memang dapat diterapkan dalam kenyataan dan menghasilkan kinerja organisasi seperti yang diidealkan? Best practice dapat ditemukan pada studi lapangan.

Lalu apa hasilnya? Tentu dengan melihat langsung penerapan berbagai konsep dan teori yang dipelajari dalam modul pada agenda pembelajaran akan menghasilkan pembelajaran berikutnya. Hal-hal baik yang muncul untuk dapat diterapkan maupun hal-hal yang kurang bahkan tidak baik untuk kemudian dapat dijadikan bahan dan masukan yang membelajarkan. Amati, tiru dan modifikasi, demikian kira-kira tiga kata yang sering muncul dalam lessons learned ini. Bersambung.

Batam, 25 Mei 2023, beberapa saat setelah presentasi hasil studi banding.

MEMAHAMKAN

Ada yang berbeda dengan pelatihan saat ini. Sekian lama tenggelam dalam kesibukan melaksanakan tugas pokok dan fungsi, keikutsertaan kali ini membuat agak ‘keteteran’ mengikuti metode dan pola baru pembelajaran, setidaknya menurut pandangan saya.

Bukan diklat teknis memang, tapi sepertinya ada kemiripan pola di keduanya. Soal kepemimpinan, diklat yang saya ikuti.

Metode pembelajaran banyak berubah menurut saya. Dimulai dari belajar mandiri, dimana peserta selama periode tertentu terjadwal mempelajari materi dalam modul-modul yang disiapkan. Meski sangat fleksibel soal waktu, akan tetapi seringkali kemudian justru menjadi tidak berkesempatan mempelajari modul. Mungkin karena saking fleksibelnya waktu, berkelindan dengan keengganan meninggalkan penyelesaian tugas pokok dan fungsi. Ditambah lagi dengan begitu banyak dan tebalnya halaman modul-modul. Dan, kesempatan belajar mandiri seringkali menjadi lewat begitu saja. Jangankan mengerjakan tugas yang terdapat dalam modul, berkesempatan untuk membaca daftar isi setiap modeul sudah merupakan hal yang cukup bagus.

Selepas jadwal belajar mandiri, pembelajaran dilanjutkan secara daring. Cita ideal untuk mereview materi-materi dalam modul berikut tugas didalamnya, seringkali terganggu dengan mudahnya meninggalkan layar komputer. Bisa jadi karena memang kita memiliki keterbatasan konsentrasi saat bertatap muka via daring. Melaksanakan tugas pokok dan fungsi sepertinya menjadi alasan yang menguatkan untuk memperpendek habisnya waktu pembelajaran daring.

Klasikal, nah ini waktu yang ditunggu-tunggu, selain sejenak membebaskan diri dari tumpukan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi, juga sekalian jalan-jalan mendekat ibu kota. Hal ini paling dinikmati untuk mereka yang bertugas di pelosok negeri. Kesempatan tatap muka menjadikan jam pembelajaran full tidak terganggu alasan tugas pokok dan fungsi. Mengeksplore materi pada modul-mudul, diidealkan diperkaya dengan beragamnya pengalaman praktek peserta. Berbagai kendala implementasi cita ideal materi modul, mendapatkan jalan keluar dari berbagai pengalaman praktek jelas mengkayakan pengetahuan peserta. Lengkap harusnya, berbagai teori dalam modul-modul dibenturkan dengan berbagai pengalaman praktek peserta. “Benturan-benturan” yang menghasilkan energi pengetahuan dan pemahaman akan sesuatu yang baru. Sudah cukup? Ternyata belum.

Mempelajari best practice, atau dikenal dengan studi lapangan. Hal-hal yang diidealkan dalam modul, pada saat klasikal terasa begitu ‘beda’ dengan beragam pengalaman praktek. Memunculkan pertanyaan dalam hati, ah rasanya kog semua cita ideal modul kog berbanding terbalik dengan pelaksanaan praktek. Mungkinkah diterapkan di tempat kerja? Demikian kita-kira. Nah, studi lapangan diharapkan dapat menjawab pertanyaan tersebut. Tentu akan dipilih praktek terbaik penerapan berbagai teori dalam mewujudkan cita ideal. Mengeksplore pengalaman terbaik penerapan atau implementasi membukakan mata, bahwa dengan memahami berbagai teori dan konsisten menerapkannya, cita ideal mewujud dalam kenyataan itu bukan hal yang tidak mungkin. Demikian kira-kira. Bersambung.

Batam, 24 Mei 2023, suatu pagi ketika akan melihat best practice.

SIMPLIKASI PANGGILAN & PEMBERITAHUAN DALAM PERSIDANGAN

Pendahuluan

Panggilan dan/atau pemberitahuan, terutama apabila delegasi, telah  menjadi salah satu persoalan dalam penyelesaian perkara perdata. Dalam persidangan misalnya, dengan alasan delegasi maka penundaan sidang setidaknya memerlukan waktu 2 sampai 3 minggu, lebih lama dibanding biasanya yang hanya 1 minggu. Persoalan tidak sampai itu saja, jika ternyata menjelang sidang relaas panggilan delegasi belum kembali, tentu menambah persoalan. Selain itu, pengiriman biaya panggilan dari pengadilan pengaju ke pengadilan yang melaksanakan juga menjadi persoalan tersendiri. 

Padahal dalam persidangan dapat saja terjadi panggilan (delegasi) tersebut dapat saja lebih dari satu kali. Konsekuensinya, waktu penyelesaian perkara perdata, dari sejak perkara masuk hingga putusan, banyak dihabiskan untuk keperluan panggilan sidang, utamanya melalui delegasi.

Hal yang sama juga terjadi ketika pemberkasan untuk upaya hukum. Dimulai dari pemberitahuan putusan, pemberitahuan adanya upaya hukum, penyerahan memori berikut segala kelengkapannya, apabila harus dijalankan dengan delegasi semakin menambah kendala dan panjangnya waktu pemberkasan. Nah, kendala maktu tersebut semakin terasa, ketika saat ini penyelesaian perkara termasuk upaya hukumnya, telah dibatasi jangka waktunya.

Sah dan Patut

Sah dan patut menjadi kata kuncii dalam pelaksanaan panggilan dan/atau pemberitahuan. Secara singkat sah merujuk kewenangan pelaksananya (officialy). Ketentuan Pasal 388 jo Pasal 390 ayat (1) HIR dan Pasal 1 Rv kewenangan tersebut ada di tangan jabatan fungsional yang bernama Jurusita / Jurusita Pengganti. Sehingga sebuah panggilan hanya sah apabila dilaksanakan olehnya, dengan membuat berita acara mengenai segala sesuatu terkait dengan hal tersebut, kesemuanya  dituangkan dalam relaas demikian biasa disebut.

Setelah keabsahan, berikutnya adalah persoalan kepatutan (properly). Jika keabsahan dilihat dari kewenangan, maka untuk kepatutan yang pertama adalah jangka waktu dan tempat pelaksanaannya. Prinsipnya panggilan harus dilaksanakan di tempat tinggal pihak yang dipanggil secara in person. Keadaan tertentu membenarkan panggilan tidak dilaksanakan in person, semisal tidak ketemu maka dilaksanakan ke kepala desa, panggilan umum dalam hal tidak diketahui alamat atau harus dengan delegasi jika diluar wilayah hukum dan jalur diplomatik atau rogatory dalam hal berada di luar wilayah Indonesia. Demikian ditentukan dalam Pasal 390 ayat (1) dan ayat (3) HIR atau Pasal 6 ke-7 Rv. 

Selanjutnya kepatutan juga dilihat dari waktu dilakukannya panggilan dan/atau pemberitahuan dengan waktu persidangan. Sekurang-kurangnya tiga hari, demikian yang saat ini dipegang, dengan merujuk pada Pasal 122 HIR, meski sebenarnya Pasal 10 Rv sendiri menyebutkan 8, 14 atau 20 hari bergantung jarak pada waktu itu. 

Masih ingat, bagaimana untuk mementukan sekurangnya tiga hari (tidak termasuk hari besar, berarti hanya hari kerja ya?) dalam melakukan panggilan sidang ini. “Buka lima jari, dimana jari kelingking adalah hari dimana panggilan dilakukan maka jempol adalah hari persidangan dan tiga jari (manis, tengah dan telunjuk) adalah sekurangnya tiga hari dimaksud sebagai patutnya pemanggilan”, demikian yang saya selalu ingat.

O iya, sebelum lupa, mengenai sahnya panggilan oleh yang berwenang yaitu Jurusita dan/atau Jurusita Pengganti. Tetapi perlu pula diingat, bahwa kewenangan tersebut dibatasi oleh wilayah hukum Pengadilan tempat Jurusita dan/atau Jurusita Pengganti tersebut bertugas. Pasal 5 Rv menentukan bahwa orang yang hendak dipanggil berada di luar wilayah hukum Jurusita maka pemanggilan dilaksanakan oleh Jurusita Pengadilan yang meluputi wilayah hukum tempat tinggal orang yang hendal dipanggil. Panggilan delegasi, demikian biasa disebut.

Domisili Elektronik Menghapus Delegasi

Kemajuan teknologi dan informasi secara bertahap telah masuk dan merubah wajah administrasi dan persidangan perkara perdata, termasuk persoalan panggilan dan/atau pemberitahuan. Kehadiran The Elektronic Justice System atau E-Court melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2023, selain merubah pendaftaran dan pembayaran panjar biaya perkara secara elektronik, juga memperkenalkan istilah domisili elektronik.

Singkatnya, pihak yang mengajukan perkara (baik gugatan atau permohonan) wajib mencantumkan domisili elektronik, berupa alamat email yang terverifikasi. Dengan adanya domisili elektronik tersebut, maka panggilan dan/atau pemberitahuan dapat dilakukan secara elektronik. Jurusita dan/atau Jurusita Pengganti melaksanakan tugasnya dengan mengirimkan relaas panggilan dan/atau pemberitahuan secara elektronik melalui domisili elektronik berupa alamat email yang terverifikasi tersebut.

Dalam menjalakan relaas secara elektronik, ternyata diberikan kewenangan tidak lagi sebatas wilayah hukum, tetapi dapat menjangkau domisili elektronik dimanapun. Tidak lagi melihat kenyataan domisili konvensionalnya. Konsekuensinya tidak lagi diperlukan adanya delegasi apabila ternyata besada di luar wilayah hukumnya. Pengadilan tempat tinggal pihak yang dipanggil dan/atau diberitahukan tersebut hanya mendapatkan tembusan, yang juga tentu saja secara elektronik.

Menghapus panggilan delegasi, begitu kira-kira kesimpulannya. Setelah bertahun-tahun soal delegasi ini menjadi kendala tersendiri Dalam mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan berbiaya ringan. Tidak kurang berbagai kebijakan dan aturan diterbitkan untuk mengatasi persoalan delegasi dikeluarkan Mahkamah Agung.. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2014 adalah salah satunya. Meski begitu detail mengatur mengenai panggilan delegasi tidak kunjung menyelesaikan persoalan yang muncul, sampai akhirnya dikenalkan istilah domisili elektronik dan panggilan elektronik. 

Meski dilakukan secara elektronik, panggilan elektronik tetap harus memenuhi syarat sah dan patutnya panggilan. Sah berarti dijalankan oleh pihak yang berwenang, dalam hal ini adalah Jurusita dan/atau Jurusita Pengganti. Salah satu yang menarik adalah karena domisili elektronik tidak mengenal wilayah hukum, maka panggilan diluar wilayah hukumnya dapat dijalankan tanpa delegasi. Adanya kewajiban memberikan tembusan menjadi konsekuensi ‘laporan’ kepada yang berwenang, ‘pemilik wilayah hukum’. Sedangkan untuk patutnya tetap sekurangnya tiga hari kerja, masih sama.

Simplikasi Panggilan Konvensional Melalui Surat Tercatat

Ok, itu untuk yang telah mencantumkan domisili elektronik? lalu bagaimana untuk pihak selain Penggugat? Awalnya, tentu saja tetap harus dilaksanakan panggilan konvensional (manual), termasuk dalam hal diluar wilayah hukumnya, tetap dengan lembaga delegasi. Waduh bukannya delegasi selama ini menjadi kendala?

Transformasi terlihat dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019,, dimana persidangan elektronik menjadi wajib bagi pihak selain Penggugat yang merupakan pengguna terdaftar, sedangkan selainnya haruslah memberikan persetujuan untuk dapat dijalankannya persidangan perdata secara elektronik (e-Litigasi). Untuk yang memberikan persetujuan persidangan elektronik, dengan adanya kewajiban memberikan domisili elektronik, maka penggilan dan/atau pemberitahuan selanjutnya dapat dilakukan secara elektronik.

Mendasarkan pada ketentuan tersebut, fokus utama adalah ‘memaksa’ seluruh persidangan dijalankan secara elektronik melalui e-litigasi. Seluruh persidangan dijalankan secara elektronik, tanpa diperlukan adanya persetujuan. Yang tidak memberikan persetujuan, persidangan elektronik dijalankan dengan menyerahkan dokumen persidangan secara fisik, untuk kemudian diunggah ke Sistem Informasi Pengadilan oleh aparatur Pengadilan yang ditunjuk.

Meski demikian, kendala terkait panggilan dan/atau pemberitahuan belum sepenuhnya terselseaikan. Męski secara kuantitas, jumlahnya semakin berkurang, tetap saja dalam perjalanan persidangan, apabila diperlukan adanya panggilan dan/atau pemberitahuan terhadap pihak yang tidak menyetujui e-litigasi masih harus dijalankan secara konvensional, dan tentu saja untuk yang bread di luar wilayah hukum tetap harus dengan delegasi. Padahal salah satu persoalan utama adalah justru delegasi itu sendiri?

Hal tersebut nyata benar disadari. Karenanya dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2022, selain meluaskan domisili elektronik, yang tadinya berupa alamat email juga termasuk layanan pesan (messaging service) yang terverifikasi, juga mengatur mengenai simplikasi panggilan konvensional dalam persidangan perkara perdata secara elektronik.

Sebagaimana dijelaskan, panggilan elektronik dijalankan melalui domisili elektronik, baik berupa email maupun layanan pesan elektronik yang terverifikasi, semisal aplikasi whatsapp. Panggilan elektronik tersebut tentu hanya dapat dilakukan kepada para pihak yang telah mendaftarkan domisili elektroniknya di Sistem Informasi Pengadilan (SIP). Pihak disini tidak saja yang telah mendaftar secara elektronik sebagai pengguna terdaftar maupun pengguna lain yang menyetujui menjalankan e-litigasi. 

Lalu bagaimana dengan yang tidak terdaftar, karena tidak menyetujuai e-litigasi? Demikian kira-kira pertanyaannya. Panggilan tentu saja tetap dijalankan secara konvensional dengan pembaharuan pada tahapan pengantaran surat panggilan dan/atau pemberitahuannya. Jika pada mulanya Jurusita dan/atau Jurusita Pengganti yang menjalankan (mengantarkan relaas) ke alamat pihak yang dituju, maka saat ini telah diserahkan kepada pihak ketiga, untuk saat ini yang telah melakukan kerjasama dengan Mahkamah Agung adalah PT Pos Indonesia. Surat tercatat demikian istilah baru yang diperkenalkan.

Jadi, untuk singkatnya, panggilan dan/atau pemberitahuan tetap menjadi tugas dan tanggung jawab Jurusita dan/atau Jurusita Pengganti yang ditunjuk. Artinya relaas tetap dibuat olehnya, jika panggilan elektronik dikirimkan secara elektronik kepada pihak melalui domisili elektronik, maka dalam surat tercatat, relaas dimasukan dalam surat dengan alamat lengkap pihak melalui PT Pos. Nantinya petugas dari PT Pos Indonesia yang akan menyampaikan surat tercatat (yang berisi relaas) tersebut secara langsung (in person) kepada alamat yang tercantum.

Nantinya Jurusita dan/atau Jurusita Pengganti berkewajiban melihat dan memastikan apakah panggilan dan/atau pemberitahuan tersebut sampai kepada alamat yang dituju. Dan tentu saja melampirkan ‘berita acara’ pelaksanaan oleh petugas PT Pos Indonesia tersebut kepada Hakim atau Majelis Hakim untuk kepentingan persidangan, termasuk dan tidak terbatas persoalan mengenai keabsahan dan kepatutannya.

Masih diperlukan sah dan patut? Tentu saja, namanya juga panggilan, baik secara elektronik terlebih secara surat tercatat juga terdapat syarat sah dan patutnya panggilan. Detail terkait hal tersebut tercantum dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023. Diantaranya terkait kepatutan adalah surat tercatat harus dikirimkan 6 hari sebelum sidang dan sudah harus diterima setidaknya 3 hari kerja sebelum pelaksanaan persidangan.

O iya, dengan mengacu kepada ketentuan mengenai panggilan elektronik, maka dalam hal panggilan melalui surat tercatat, Jurusita dan/atau Jurusita Pengganti juga dapat melakukan panggilan kepada alamat domisili yang berada diluar wilayah hukumnya. Kenapa? karena tentu tidak efektif apabila dalam melakukan pemanggilan melalui surat tercatat masih menggunakan mekanisme delegasi. Bukankah salah satu alasan persidangan elektronik berikut perangkatnya adalah mengatas kendala terkait pelaksanaan delegasi? Sebagaimana dalam panggilan elektronik, dalam surat tercatat juga dapat memberikan tembusan, dan untuk efektifitas tembusan disampaikan secara elektronik. Karena apa, karena setiap pengadilan saat ini telah memiliki domisili elektronik, atay lebih mudahnya terdapat SIsten Informasi Pengadilan.

Penutup

Demikian kira-kira upaya yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam melakukan simplikasi panggilan persidangan dalam perkara perdata. Salah satunya adalah untuk mengatasi persoalan panggilan delegasi yang terjadi selama ini. Menarik melihat transformasi pelaksanaan panggilan dan/atau pemberitahuan sidang, baik secara elektronik (e-summon) maupun melalui Surat Tercatat yang menjadi salah satu tugas Jurusita dan/atau Jurusita Pengganti.

Karena transformasi panggilan dan/atau pemberitahuan tersebut berangkat dari persidangan dalam perkara perdata secara elektronik tentu akan terus berkembang menyesuaikan perkembangan jaman dan kebutuhan bisnis dan proses persidangan itu sendiri. Karena tugas untuk melakukan panggilan dan/atau pemberitahuan tidak saja selama jalannya persidangan dan upaya hukumnya, akan tetapi juga setelah persidangan, semisal dalam pelaksanaan eksekusi putusan, tentunya dapat diterapkan hal yang sama terkait penggilan dan/atau pemberitahuan baik secara elektronik maupun surat tercatat untuk tahapan pasca persidangan.

Selain itu, Jurusita dan/atau Jurusita Pengganti juga menjalankan tugas serupa dalam perkara pidana. Jika dalam perkara perdata, simplikasi panggilan dan/atau pemberitahuan akan menghasilkan efisiensi berupa biaya perkara yang harus dibayarkan pada pihak, maka dalam perkara pidana dapat merubah komposisi biaya yang disediakan negara untuk itu. Komponen biaya untuk itu dalam anggaran juga harus dihitung ulang menjadi lebih efisien.

Terakhir, satu yang menarik adalah ketika kewenangan Jurusita dan/atau Jurusita Pengganti dapat melewati batas wilayah hukum dengan adanya panggilan elektronik maupun surat tercatat, tetapi di sisi lain ‘penghasilan resmi’ berupa uang jalan (biaya panggilan dalam perkara perdata dan uang jalan dalam perkara pidana) menjadi hilang. Semacam disrupsi teknologi dalam modernisasi menuju Peradilan Yang Agung. Semoga.

Pemalang, 31 Agustus 2023. Menjelang hari gajian esok hari.

IMPARSIAL SEJAK DALAM PIKIRAN

Pendahuluan
Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat) secara jelas dan tegas disebutkan dalam Batang Tubuh UUD NRI tahun 1945 yang sebelum amandemen hanya ditemukan dalam Penjelasan UUD 1945. Mempertegas komitmen bahwa Indonesia adalah negara hukum yang demokratis berlandaskan konstitusi bukan negara kekuasaan yang otoriter. Hukum menjadi dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum. Negara hukum, konstitusi, dan demokrasi merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan menuju sebuah bangunan negara yang menjunjung tinggi supremasi konstitusi dan demokrasi yang berdasarkan kepada hukum.

Definisi yang memberikan penjelasan mengenai unsur dan definisi negara hukum terus berkembang. Dari masa klasik ke modern bahkan masa kontemporer terdapat dua elemen yang selalu muncul dan menunjukkan peran serta fungsi pengadilan yaitu: perlindungan terhadap hak-hak individu dan adanya proses peradilan yang setara dan imparsial yang dijalankan oleh pengadilan yang independen yang bisa diakses setiap warga negara yang ingin memulihkan dan menikmati hak-haknya yang mungkin dilanggar oleh pihak lain-termasuk jika dilanggar oleh negara. Selain kedua elemen tersebut, terdapat elemen hukum dan undang-undang yang memuat jaminan hak-hak individu serta pembatasan dan pembagian kekuasaan dalam penyelenggaraan negara, yang umumnya dimuat dalam konstitusi.

Pengadilan sebagai pemegang cabang kekuasaan negara di bidang yudikatif, sebagaimana cabang kekuasaan negara lainnya merupakan pemegang kewajiban (duties bearer) terhadap individu atau warga negara sebagai pemegang hak (rights holder) hak asasi manusia. Kewajiban tersebut baik berupa menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfill) pemenuhan hak asasi manusia.

Apabila pada cabang kekuasaan lainnya, tanggung jawab terhadap hak asasi manusia secara proaktif, langsung dan aktif, maka berbeda dengan pengadilan. Tanggungjawab pengadilan baru dapat dijalankan ketika suatu permasalahan hukum diajukan kepadanya untuk diperiksa dan diadili.

Pengadilan yang Independensi dan Imparsial

Pengadilan dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya mengadili perkara haruslah terbebas dari kekuasaan atau campur tangan dari kekuasaan lainnya. Kebebasan atau independensi pengadilan menjadi prasyarat untuk mampu menjadi penyeimbang dan pembatas dari lembaga-lembaga negara dalam cabang kekuasaan yang lain. Terutama, ketika pengadilan harus menguji atau mengadili tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam penyelenggaraan negara, atau terhadap seseorang atau sekelompok warga negara.
Dari berbagai instrumen dan referensi, setidaknya terdapat empat aspek yang menjadi perasyaratan bagi indepensi peradilan. Pertama, pengaturan prosedur dan kualifikasi pengangkatan hakim dalam undang-undang. Kedua, Jaminan yang terkait dengan masa masa kerja, usia pensiun wajib dan alasan-alasan berakhirnya masa jabatan hakim. Ketiga, mengenai pengaturan proses promosi, mutasi, penangguhan dan penghentian fungsi Hakim, dan keempat adalah independensi peradilan dari campur tangan politik oleh badan eksekutif dan legislatif.

Independensi peradilan menjadi salah satu semangat Era Reformasi dengan melakukan pembaharuan lembaga pengadilan. Pengalihan kewenangan aspek administrasi, organisasi, dan finansial dari Departemen Kehakiman kepada Mahkamah Agung menjadi tonggak berlakunya manajemen kehakiman “satu atap”.

Sejak saat itu, Mahkamah Agung sebagai puncak peradilan, dalam manajemen satu atap mengurus seluruh hal, termasuk aspek organisasi, administrasi dan keuangan serta hal teknis yudisial. Pentingnya indepensi peradilan disoroti oleh Jimly Asshiddiqie sebab tanpa adanya peradilan bebas, tidak ada negara hukum dan demokrasi. “Demokrasi hanya ada apabila diimbangi oleh rule of law, tetapi rule of law hanya ada apabila terdapat independence of judiciary.”

Selain independen, hal yang dituntut untuk dapat memenuhi fungsi peradilan dalam memberikan perlindungan hak asasi manusia adalah imparsial atau tidak memihak.

Pentingnya peradilan independen dan imparsial juga ditegaskan dalam berbagai instrumen. Ketentuan-ketentuan internasional mengenai hal itu dapat ditemukan dalam Universal Declaration of Human Rights (1948), International Covenant on Civil and Political Rights (1976), Basic Principles on the Independence of the Judiciary (1985), Vienna Declaration and Programme of Action (1993), Universal Declaration on the Independence of Justice (1983), International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence (1982), The Cairo Declaration on Human Rights in Islam (1990), Beijing Statement of Principle of Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1995), The Bangalore Principles of Judicial Conduct (2002), dan lain-lain.

Pada prinsipnya, ketentuan-ketentuan internasional tersebut memiliki semangat mendukung terciptanya peradilan yang independen dan imparsial. Universal Declaration of Human Rights (1948) (Pasal 10), International Covenant on Civil and Political Rights (1976) (Pasal 14), dan Basic Principles on the Independence of the Judiciary (1985) adalah ketentuan-ketentuan internasional yang dibuat oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
Meski tidak secara khusus dan detail mengatur, masuknya ketentuan mengenai independensi peradilan dalam UDHR dan ICCPR memiliki semangat mendukung terciptanya peradilan yang independen dan imparsial. Hal itu karena berhubungan erat dengan aspek perlindungan dan penegakan hak asasi manusia. Sedangkan instrumen dari PBB yang secara komprehensif mengatur tentang peradilan yang independen dan imparsial adalah Basic Principles on the Independence of the Judiciary (1985).

Pentingnya peradilan merdeka dan tidak memihak di atas, menarik menyoroti Universal Declaration on the Independence of Justice (1983), International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence (1982), dan The Bangalore Principles of Judicial Conduct (2002). Ketiganya menyebut bahwa independensi dan imparsialitas peradilan tidak hanya dilekatkan pada peradilan secara institusional, tetapi juga diberikan kepada hakim secara individual.

Universal Declaration on the Independence of Justice (1983) menyebut ketentuan bahwa “Hakim harus bebas secara individual”, International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence (1982) juga menyebut bahwa “Individual judges should enjoy personal independence and substantive independence”. Dalam The Bangalore Principles of Judicial Conduct (2002), khususnya bagian tentang independensi kehakiman, juga terdapat ketentuan serupa yang menyebut bahwa “A judge shall therefore uphold and exemplify judicial independence in both its individual and institutional aspects”.

Ketentuan tersebut menunjukkan independensi kekuasaan kehakiman seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai independensi kekuasaan kehakiman secara institusional, tetapi juga mencakup independensi kekuasaan kehakiman secara personal. Meskipun tidak ada intervensi eksternal dari kekuasaan lembaga negara lain terhadap peradilan, independensi dan imparsialitas peradilan sulit dapat diwujudkan jika hakim secara personal tidak memiliki ruang leluasa untuk melaksanakan tugasnya secara merdeka dan tidak memihak.

Menurut Mikuli, imparsialitas mengacu kepada keadaan pikir atau sikap batin ketika menghadapi perkara. Berbeda dengan independensi berupa kondisi bebas dari tekanan pemerintah atau kekuasaan negara lainnya. Lebih lanjut menurut Mikuli imparsialitas adalah turunan dari independensi, baru akan muncul ketika independensi peradilan telah ada.

Imparrsialitas pengadilan masih akan tergantung pada imparsialitas hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Sebagaimana disampaikan MacDonald dan Kong mengungkapkan bahwa ‘(bisa jadi) peradilan pada prinsipnya mungkin independen, tetapi dalam kasus tertentu, seorang hakim mungkin tidak imparsial, artinya, dapat menunjukkan favoritisme terhadap satu pihak’.

Dari hal di atas, terlihat bahwa alam berpikir dan perilaku hakim sangat menentukan tercapainya imparsialitas yang diharapkan dari pengadilan. Lahirnya prinsip-prinsip hukum acara yang memandu agar hakim dapat tampak bersikap imparsial/netral, dalam persidangan. Prinsip audi et alteram partem dalam hukum acara perdata, misalnya. Berikutnya muncul instrumen-instrumen universal yang mengatur soal perilaku hakim agar imparsial. Misalnya, Bangalore Principles of Judicial Conduct (terakhir diperbarui tahun 2002).

Dalam Bangalore Principles, ketidakberpihakan diperlakukan sebagai salah satu nilai penting bagi peradilan selain dari integritas, kepatutan, kesetaraan, dan kompetensi/ketekunan. Dokumen tersebut menyatakan bahwa ketidakberpihakan ‘berlaku tidak hanya untuk keputusan itu sendiri tetapi juga untuk proses di mana keputusan itu dibuat.’ Bangalore Principle juga menekankan perlunya untuk mengamati kondisi-kondisi yang dibutuhkan untuk mewujudkan ketidakberpihakan hakim. Misalnya, memastikan hakim melaksanakan tugasnya tanpa memperoleh bantuan dari pihak lain, bias, atau prasangka.

Disimpulkan, imparsialitas berkaitan erat dengan pola pikir dan cerminannya dalam perilaku hakim. Sebagaimana diungkapkan Gonera yang dikutip oleh Mikuli, karakter pribadi hakim yang kuat dan teguh adalah yang paling diharapkan. Hal ini meliputi antara lain menjaga perilaku agar senantiasa memenuhi etika, baik dalam lingkup tugas sebagai hakim maupun saat tidak bertugas, keberanian moral menjalankan independensi peradilan, kecerdasan, kebijaksanaan, kecermatan dalam berbahasa, kemampuan untuk berefleksi secara luas, keyakinan dalam pengambilan keputusan, rasa keadilan dan hati nurani yang sensitif. Hal itu pula yang menyebabkan nobility menjadi karakter utama yang melekat pada hakim.
Bias Personal dalam Mengadili Perkara
Hakim merupakan pemangku dan pelaksana kekuasaan kehakiman. Dipersonifikasikan dalam sosok manusia terpilih yang disebut “kadi”, digambarkan sebagai Dewi Themis dengan mata tertutup sebagai simbol kenetralan dan imparsialitas. Tidak akan menengok ke kanan atau kiri atau bermain mata dengan salah satu pihak yang berperkara. Dalam ajaran filsafat hukum klasik, hakim itu harus lurus mengikuti “kewajiban tak bersyarat” tanpa boleh ada niat untuk berpikiran culas. Maka itu, menurut Montesquie, hakim hanya berperan sebagai la bouche qui prononce les paroles des lois (sebatas corong yang membunyikan kata-kata undang-undang) semata.
Dengan melihatnya dalam struktur organisasi dan secara mekanis, hal itu menjadikan hakim sebagai orang yang bebas nilai dan bersih dari kepentingan. Dlepaskan dari segala yang bersifat manusiawi dan terhindar sama sekali dari pengaruh lingkungan. Persoalannya adalah bagaimana mungkin hakim dapat bekerja menganalisis kasus dengan hanya ”murni” mendasarkan diri pada norma hukum yang berlaku.
Dalam realitasnya, hakim adalah juga manusia yang sangat dipengaruhi oleh identitas yang beragam. Sejarah kehidupan, etnisitas, dan tradisi kultural, kelas, keyakinan agama, pandangan politis, kelas, gender, bahkan ideologi keilmuan. Dengan demikian, putusan “yuridis-normatif” sebenarnya juga mengandung klaim “sosiologis-kultural” sejalan dengan keberagaman dan tumpang tindih identitas dalam diri seorang hakim. Hakim adalah seorang manusia.
Hakim juga produk dari masyarakat. Pergeseran nilai dan sikap permisif terhadap perbuatan yang melanggar hukum langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi hakim, termasuk dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, mengadili perkara.
Imparsialitas hakim dalam mengadili perkara, sangat terkait dengan prinsip hak asasi manusia. Kesetaraan, dimana pada situasi yang sama manusia harus diperlakukan sama, dan pada situasi yang berbeda manusia diperlakukan secara berbeda pula. Sedangkan prinsip berikutnya adalah non diskriminasi. Diskriminasi terjadi ketika setiap orang diperlakukan atau memiliki kesempatan yagn tidak secara seperti inequality before the law, inequality of treatment, or education opportunity.

Dalam konteks menjalankan persidangan, imparsialitas hakim harus terwujud baik dalam proses persidangan maupun putusan yang dihasilkannya. Imparsialitas hakim harus didasarkan pada kemampuan yang dimiliki (expertise), pertanggungjawaban dan ketaatan kepada kode etik dan pedoman perilaku.

Personal bias dilarang muncul dan diminta untuk dihindari oleh hakim agar bisa bersikap imparsial dan objektif dalam mengadili suatu perkara. Namun secara alami setiap manusia memiliki bias. Karena sifatnya unik, maka kebanyakan orang tidak menyadari atau tidak merasa dirinya memiliki bias sebagaimana orang-orang lainya.

Personal bias dapat diartikan sebagai kecenderungan, preferensi, favoritisme yang berpotensi menimbulkan keperpihakan yang disebabkan pengaruh yang bersifat internal dan personal. Usia, generasi, agama, nilai-nilai, pola asuh dan berbebagai latar belakang hakim dapat mempengaruhi personal bias.

Lahirnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum menunjukkan hal tersebut. Meski hukum acara maupun kode etik dan pedoman perilaku yang digunakan sama, ternyata dalam implementasinya terdapat bias personal diantara hakim dalam mengadili perkara sejenis. Diperlukan pedoman untuk menghindarkan hakim dari personal bias dan menjamin imparsialitas hakim.

Selain personal bias, dikenal pula unconscious bias. Kondisi dimana penilaian atau keputusan diambil berdasarkan pengalaman sebelumnya, pola pikir mendalam pribadi, asumsi atau interpretasi yang tidak disadari. Cenderung percaya bahwa telah menjadi yang terbaik dan tidak berprasangka buruk dibanding yang lain.

Dalam praktek persidangan, masih sering terjadi personal bias maupun unconscious bias tanpa disadari. Pengajuan pertanyaan yang menyebutkan tindak pidana kepada terdakwa telah menempatkan seolah hakim telah menggangap terbuktinya kesalahan. Atau dalam keadaan tertentu, hakim menasehati terdakwa, jika berlebihan tentu akan dapat mengganggu imparsialitas hakim.

Baik personal bias maupun unconscious bias harus dapat dihindari oleh hakim ketika menjalankan tugasnya. Hakim dituntut dapat menunjukkan bahwa pertimbangan hukum atau penafsiran hukum ataupun putusan yang diambil dalam perkara yang disidangkannya bukan sekedar pandangan subyektif. Hakim harus obyektif dan netral tanpa pandangan/indeologi politik. Hakim dan pengadilan adalah cold neutrality.
Pentingnya Pemahaman Hak Asasi Manusia bagi Hakim
Menjadi menarik, ketika personal bias dan unconscious bias adalah hal yang alami, sedangkan hakim selalu menjaga netralitasnya. Untuk menjamin sikap imparsial, hakim dapat melakukan pendekatan secara psikologi sebagaimana yang disampaikan Frith.

Merenungkan kembali dengan meluangkan waktu untuk melihat apakah proses berpikir telah mempengaruhi obyektifitas pengambilan keputusan. Secara tidak sadar manusia, termasuk hakim, mendiskriminasi dengan lebih mendukung hal-hal yang terasa ‘alami’ dan ‘benar’ dibanding hal yang kurang familiar.

Hakim harus lebih waspada (alert) ketika menemui hal-hal yang bersifat asing ketika mengadili perkara. Memotivasi diri dan meningkatkan pengetahuan tentang kelompok lain dapat menjadi jalan untuk mengurangi diskriminasi yang muncul di alam bawah sadar.

Dalam pengambilan keputusan hakim dapat meningkatkan kualitas jika memiliki komitmen untuk mempertanyakan stereotip budaya. Musyawarah majelis hakim dapat dipergunakan untuk mendeteksi bias yang mungkin muncul dan saling mengujinya secara obyektif diantara hakim.

Dalam konteks ini, persepektif dan pengetahuan hakim yang memadai mengenai prinsip-prinsip hak asasi manusia dan cara-cara yang dapat digunakan oleh hakim, dengan kewenangannya, untuk mengakomodir prinsip-prinsip tersebtu menjadi penting. Mengurangi dan meminimalisir personal bias maupun unconscious bias dalam proses penilaian fakta, penafsiran hukum dalam pengambilan keputusan.

Pada akhirnya, ketika hakim telah bertindak imparsial, bahkan sejak dalam pikiran saat menjalankan tugasnya mengadili akan melahirkan lingkungan ideal bagi perlindungan hak asasi manusia di pengadilan. Melengkapi prasyarat penting berupa independensi dan imparsialitas pengadilan dalam proses persidangan dan memutus perkara secara fair. Hakim telah menjalankan tugas negara, menjadi duty bearer dalam perlindungan hak asasi manusia. Semoga.

NOT BUSINESS AS USUAL (tamat)

“Saya serahkan pimpinan dan tanggung jawab kepada Saudara.” Penggalan kalimat terucap dari Ketua Pengadilan. Diiringi dengan penyerahan palu hakim kepada pejabat penggantinya.

Jika dulu, Ketua Pengadilan mengucapkan sumpah sebelum menerima serah terima jabatan, maka kali ini sebaliknya. Masih di tempat yang sama, sebuah aula Pengadilan Tinggi, menyerahkan pimpinan dan tanggung jawab yang dahulu diterimanya.

Kalung jabatan yang dikenakan, juga telah berpindah posisi. Tersemat gagah pada rekan sejawat. Dengan sigap mengucap sumpah sekaligus menerima penyerahan pimpinan dan tanggung jawab. Ketua Pengadilan berdiri tegak dengan toga merah yang dikenakannya. Senyuman tipis merekah dari sudut bibirnya. Tak jauh beda, serupa ketika dulu pertama mengenakannya.

Senyum dan raut muka seperti hendak berkata pada dunia. “Lega, selesai juga akhirnya.”

“Siap laksanakan,” jawab Ketua Pengadilan ketika mendapat perintah Ketua Pengadilan Tinggi. Meski sesungguhnya dalam hati muncul keraguan. Bukan keraguan karena ketidakmampuan, tetapi lebih pada baru saja menjabat dan belum mengetahui benar kondisi kantor yang akan dipimpinnya.

“Siap,” serentak ucap Wakil Ketua, Panitera dan Sekretaris setelah mendengar apa yang disampaikan Ketua Pengadilan. “Terima kasih,” ujar Ketua Pengadilan sedikit lega.

Dan, benar saja. Hanya dengan dukungan seluruh komponen yang ada semua beban terselesaikan, meski tadinya terasa berat.

Menata ulang ruang pelayanan terpadu satu pintu. Merevitalisasi ruang aula untuk pertemuan. Dan meningkatkan kebersihan lingkungan kantor, terutama fasilitas umum adalah beberapa hal yang dapat dilakukan dalam waktu yang relatif singkat.

“Terima kasih,” ujar Ibu Hakim Tinggi yang mewakili Ibu Ketua Pengadilan Tinggi setelah selesai acara dan pamit pulang. “Mohon maaf atas segala kekurangan dan ketidaksempurnaan kami,” ucap Ketua Pengadilan sambil mengantar menuju mobil di lobby kantor.

“Lega, selesai juga akhirnya,” gumam Ketua Pengadilan. Bersandar pada kursi kerja, terpejam mata seolah hendak beristirahat. Rehat dari kelelahan, Lelah dari dua hari kegiatan menjadi tuan rumah, melainkan lebih karena beberapa hari sebelumnya ‘dipaksa’ bersegera melakukan perubahan demi persiapan demi lancarnya acara.

Tok tok, suara pintu diketok. “Silahkan masuk,” ujar Ketua Pengadilan. Setelah duduk, Sekretaris yang membawa map berkata, “ijin Ketua, menyampaikan rincian kegiatan berikut beban yang harus diselesaikan,” ucapnya.

“Hore,” teriakan spontan dari beberapa orang yang berkumpul di sebuah ruang aula. Sesaat setelah nama pengadilan negeri disebut pada sebuah acara perayaan ulang tahun Mahkamah Agung. Ya, predikat sebagai Pengadilan Elektronik terbaik pertama di lingkungan peradilan umum untuk kategori pengadilan kelas II.

Kaget, entah karena tidak percaya, tidak yakin atau keduanya. Senyuman tipis, terlihat dari wajah Ketua Pengadilan. Senyum bahagia tentunya. Tapi sepertinya bukan karena predikat yang baru saja didapatkan satuan kerjanya. Lebih karena sejak dilantik dahulu, baru kali ini melihat raut muka dan wajah mereka yang berkumpul di ruangan. Raut wajah yang memancarkan kebanggaan, nama tempat mereka bekerja disebut dalam sebuah acara.

“Selamat Ketua,” demikian ucap Wakil Ketua sambil menjabat tangan Ketua Pengadilan disusul satu persatu personil lainnya. “Terima kasih, ini berkat kerja keras seluruh komponen di kantor ini,” ucap Ketua Pengadilan. Potong nasi tumpeng dan makan bersama mengakhiri acara hari itu.

“Lega, akhirnya ada juga yang membanggakan,” guman Ketua Pengadilan pelan.

“Baiklah,” lirih terucap dari mulut Ketua Pengadilan. Entah apa maksud ucapan itu. Dengan senyum tipis, Ketua Pengadilan membuka laci dan mengeluarkan laptop.

“Ijin Bapak, ruang rapat sudah siap,” ujar Sekretaris mengingatkan Ketua Pengadilan bahwa sudah terjadwal rapat.

Dan, demikian dari satu rapat ke rapat lainnya. Dari yang melibatkan seluruh pegawai sampai yang hanya dengan satu dan dua orang saja. Jika ruangan kantor dapat bersaksi, mungkin semua akan berebut bersaksi. Ruang aula, ruang rapat ketua, ruang wakil bahkan hampir seluruh ruang digunakan untuk ‘rapat’. Tetapi dari seluruh ruangan, bisa jadi kantin menjadi tempat dimana Ketua Pengadilan mendapatkan ide dan masukan untuk menentukan langkah perubahan.

“Nga rapat Pak Ketua,” ujar Sekretaris pada suatu pagi. “Sudah ada kopinya belum?” ujar Ketua Pengadilan. “Siap, rapat kali ini soal merapikan pohon dan halaman depan kantor, kopi siap di pos security depan,” ucap Sekretaris sambil berjalan di samping Ketua Pengadilan.

Demikian kira-kira mayoritas rapat yang dilakukan. Mendeskripsikan persoalan, menggagas ide pemecahan, merencanakan tindakan dan mengeksekusinya dalam kenyataan. Dari satu persoalan ke persoalan berikutnya. Dari soal-soal yang kecil, sampai yang bikin kening berkerut. Semua diatasi dengan pola dan ritme yang serupa.

“Ijin pulang duluan Bapak” ujar seorang pemuda masuk ke ruangan dan menyerahkan kunci kendaraan dinas. “Terima kasih, hati-hati di jalan,” ujar Ketua Pengadilan sambil terus memperhatikan laptopnya.

Jam di dinding menunjukkan jam pulang kantor telah lewat beberapa waktu yang lalu. Ketua Pengadilan tetap fokus pada laptop. “Tanggung, sedikit lagi,” gumamnya dalam hati. Dan, demikianlah hari demi hari dilalui dengan ritme yang hampir serupa.

“Apakah kita dapat membongkar dan memindahkan ruangan Pak Sekretaris?” ujar Ketua Pengadilan ketika membuka rapat. “Siap Bapak, setelah kami konsultasikan diperkenankan sepanjang dapat dipertanggungjawabkan,” jawab Sekretaris.

“Siap mendukung Bapak,” ujar Bu Wakil dan Bu Panitera serentak menjawab pertanyaan Ketua Pengadilan.

Kesiapan juga disampaikan personil Kepaniteraan Muda Perdata dan Sub Bagian Umum. Dua ruangan yang paling terdampak hasil rapat terkait penataan ruang pelayanan terpadu satu pintu.

Ruang kepaniteraan muda perdata pindah ke sayap kiri ruang kantor, sejajar dengan ruang kepaniteraan muda pidana dan kepaniteraan muda hukum. Sedangkan ruang sub bagian umum pindah ke lantai atas.

Bangunan utama depan seolah terbelah menjadi dua. Ruang pelayanan terpadu mendapat tambahan bekas ruang kepaniteraan muda perdata. Meja ecourt, meja inzage, ruang kesehatan, ruang menyusui sampai ruang tamu terbuka, bahkan semacam ‘co working space’ mendapatkan alokasi yang memadai.

Sedangkan ruang mediasi dan diversi mengisi bekas ruangan sub bagian umum. Kunci pintu untuk mengakses ke ruang kepaniteraan muda maupun ke lantai atas dilengkapi dengan pengunci elektronik. Sehingga hanya dapat diakses dengan kartu pengenal yang tersemat pada personil kantor.

“Area publik dan area kerja kantor kita benar nyata terpisah Pak Ketua,” ujar Bu Wakil Ketua ketika mencoba kartu akses untuk masuk ke ruang kerjanya yang memang berada di lantai atas.

“Tinggal penyempurnaan Pak Ketua,” ujar Sekretaris ketika mendampingi Ketua Pengadilan pada suatu pagi. Ya, pagi itu Ketua melihat revitalisasi ruang parkir karyawan. “Cukup untuk enam kendaraan roda empat dan seluruh kendaraan roda dua pegawai,” jelas Sekretaris lebih lanjut.

Tempat parkir telah tertata lebih rapi. Tampak serasi dengan tempat parkir yang telah ada sebelumnya. Sejajar dengan tempat parkir baru. Mushola menjadi pembatas diantara kedua.

“Ijin Bapak, mushola juga kami perbaiki, kami ganti lantainya, dilakukan pengecatan ulang dan merubah tempat untuk berwudlu Bapak,” Sekretaris melanjutkan. “Dengan uang kantor? tanya Ketua Pengadilan. “Tidak Bapak, dari kas mushola dan bantuan donatur, untuk listrik juga kami pasangkan meteran sendiri Bapak, dengan pulsa, jadi tidak lagi mengambil listrik dari kantor,” Sekretaris terus menceritakan kepada Ketua Pengadilan.

“Kantin juga demikian Bapak, selain telah membawa sewa, untuk listrik juga ada meteran tersendiri, dengan pulsa,” Sekretaris terus saja melaporkan. “Sudah dikonsultasikan dengan Bu Wakil?” tanya Ketua Pengadilan. “Siap Bapak, semua yang kami kerjakan sudah kami konsultasikan dengan Bu Wakil,” jawab Sekretaris.

Dan demikian, satu persatu ruangan terus dilakukan penataan. Setelah ruang pelayanan terpadu satu pintu, ruang mediasi dan diversi, ruang pos bantuan hukum, ruang aula, ruang arsip perkara, kamar mandi umum dan beberapa ruang lainnya terus mendapat sentuhan perubahan dari Pak Sekretaris bersama Bu Wakil Ketua.

“Terima kasih Bu Wakil,” ujar Ketua Pengadilan ketika menerima laporan dari Wakil Ketua mengenai penataan dan pembenahan ruangan.

“Ijin Bapak, truk pengantar barang elektronik yang dipesan sudah datang,” ujar Sekretaris pada suatu pagi. Setelah menutup laptop, Ketua Pengadilan turun dan ternyata sudah ada Bu Wakil. “Bagaimana Bu Wakil? tanya Ketua Pengadilan. “Siap, apakah sesuai perencanaan atau petunjuk lain Pak Ketua?” jawab Wakil Ketua.

Di bawah pengawasan langsung Bu Ketua Pengadilan, teknisi melakukan pemasangan alat elektronik sesuai perencanaan. Ruang sidang utama mendapat porsi awal. Layar proyektor besar, enam unit komputer untuk setiap meja, satu komputer operator, dua layar televisi melengkapi satu layar proyektor untuk menampilkan gambar pun demikian soundsystem berikut kamera yang dapat bergerak otomatis. Kelengkapan yang menjadikan proses persidangan secara daring dapat berjalan dengan baik.

Ruang sidang dua, dan ruang sidang anak mendapat peralatan yang serupa dengan ruang sidang utama. Pun demikian ruang media center yang juga digunakan sebagai ruang aula, serta ruang mediasi dan diversi mendapatkan peralatan sejenis.

Ruang rapat ketua juga demikian. “Empat TV wall telah berfungsi dengan baik Pak Ketua,” ujar sekretaris ketika mencoba perlengkapan elektronik di ruang rapat ketua.

“Sekalian latar ruangannya Pak Sekretaris biar serasi,” ujar Ketua Pengadilan. “Siap Bapak, semua ruangan yang mendapat peralatan elektronik kami juga rapikan ruangannya,” jawab Sekretaris.

“Jangan lupa, berita acara hibah, permohonan ijin register, mencatatkan dan memohonkan ijin penggunaan,” Ketua Pengadilan mengingatkan.

“Lapor, sesuai perintah Bapak kami sudah menemukan data keuangan eksekusi, kami tindak lanjuti dan telah dikembalikan kepada pemohon, sedangkan yang telah lewat waktu kami setorkan ke negara,” jelas Bu Panitera.

“Syukurlah,” ucap Ketua Pengadilan. “Lalu bagaimana yang masih berjalan,” tanyanya lebih lanjut. “Lima menyatakan dicabut karena telah menyelesaian sendiri, sedangkan dua yang sebulan lalu damai, sedangkan dua baru permohonan, untuk satu yang telah rapat koordinasi sepertinya tidak terkejar Bapak,” ujar Bu Panitera ketika melapor akan melaksanakan tugas karena mendapat promosi.

“Terima kasih Bu Panitera, semoga sukses di tempat baru,” ucap Ketua Pengadilan sambil mengantar ke kendaraan setelah acara sederhana pengantar tugas yang diselenggarakan.

___

Ketika hendak membuka laptop, setelah mengisi daftar hadir padi dan duduk di belakang meja kerjanya, berdering suara gawai Ketua Pengadilan. “Ijin Bapak, ada sedikit kendala di lapangan terkait eksekusi,” terdengar suara Panitera dari seberang telepon. Agak lama Ketua Pengadilan mendengarkan, mengucapkan beberapa kata, seperti memberikan perintah, kemudian menutup teleponnya.

Ketua Pengadilan melanjutkan membuka laptopnya. Menu sistem informasi penulusuran perkara berikut monitoringnya menjadi meja wajib setiap hari. Demikian pula evaluasi yang memang dirancang untuk melihat implementasi setiap pengadilan.

Dengan senyum tipis, Ketua Pengadilan membandingkan urutan nilai Pengadilan Negeri di wilayah hukum Pengadilan Tinggi yang sama. “Semakin membaik dari tahun lalu,” gumam Ketua Pengadilan pelan. Terlihat di layar dari urutan empat menjadi urutan satu, naik dibandingkan tahun sebelumnya.

Menjelang siang, gawai Ketua Pengadilan Negeri begetar, setelah dilhat muncul nama Panitera. Setelah diangkat terdengar suara Panitera. “Ijin melaporkan Bapak, eksekusi lancar, perlawanan fisik dapat diatasi,” suara Panitera terdengar jelas. “Alhamdulilah, segera lengkapi administrasi dan balik ke kantor,” pesan Ketua Pengadilan.

Menjelang pulang kantor, Panitera didampingi Panitera Muda Perdata terlihat masuk ke ruang Ketua Pengadilan, Setelah duduk terlihat Panitera sedang memberikan laporan. Bergantian dengan Panitera Muda Perdata. Ketua Pengadilan terlihat serius mendengarkan.

Hampir satu jam, ketika kemudian terdengar suara adzan magrib. “Sudah mau magrib, besok kita lanjutkan,” ucap Ketua Pengadilan. “Terima kasih Bapak, kami juga belum istirahat, langsung lapor karena meski bersitegang akhirnya dapat berlangsung dengan baik,” ujar Panitera Muda Perdata yang diaminkan oleh Panitera.

“Alhamdulilah semua nilai kita naik,” ucap Sekretaris sesaat setelah dipersilahkan masuk ke ruang Ketua Pengadilan. “Laporan Kinerja Instansi Pemerintah jadi BB dari tahun lalu yang hanya B, demikian juga nilai akreditasi penjaminan mutu, tetap A excellent tetapi nilainya tidak lagi terendah,” ucap Sekretaris penuh semangat.

“Lalu bagaimana untuk acara ulang tahun kantor kita?” tanya Sekretaris penuh harap. “Sudah dikonsultasikan dengan Bu Wakil kan? Jika begitu jalankan saja semua rencana,” jawab Ketua Pengadilan.

Tidak lama setelah Sekretaris meninggalkan ruang Ketua Pengadilan, masuk Bu Wakil dan beberapa hakim. Setelah dipersiahkan duduk, Wakil Ketua melaporkan mengenai rencana ulang tahun. “Donor darah, lomba foto serta penyelenggaraan kuis untuk pengunjung pengadilan setiap hari, pembagian souvenir dan sunatan massal serta peluncuran aplikasi menjadi puncak acara,” lapor Wakil Ketua.

Pagi itu, Ketua Pengadilan sampai ke kantor lebih pagi dari biasanya. Beberapa pegawai dengan seragam baru, bertuliskan angka tahun usia kantor sedang merapikan ruang acara. Yang lain terlihat di depan seolah bersiap menyambut tamu.

Tamu undangan berdatangan satu persatu. Beberapa tamu dengan usia relatif tua, berjalan digandeng. Terlihat pancaran wajah bahagia melihat kembali tempatnya bekerja dengan beberapa perubahan yang dilakukan. Pensiunan kantor pengadilan tersebut ternyata mereka.

Selanjutnya berurutan tampak hadir, Kepala Kejaksaan Negeri, Kepala Kepolisian, Komandan Kodim, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Bupati Kepala Daerah, Setelah beramah tamah, kesemuanya berkenan melihat khitanan massal yang berlangsung di ruang sebelah acara.

Setelah kembali ke ruangan, acara dimulai. “Terima kasih atas sinergitas yang terbangun, dan terima kasih untuk kerja hebat seluruh pegawai di kantor ini,” ucap Ketua Pengadilan ketika memberikan sambutan.

“Kami mohon perkenan Ketua Pengadilan dengan didampingi Bupati dan seluruh forkominda meresmikan penggunaan Batang Digital System,” ujar pembawa acara.

Ketua Pengadilan dan seluruh yang dipanggil maju ke depan. “Dalam hitungan mundur bersama-sama menempelkan tangganya ke layar.,” ucap pembawa acara memandu. “Tiga, dua, satu,” ujarnya selanjutnya. Dan tangan Ketua Pengadilan pertama menempel.

Tiba-tiba Ketua Pengadilan merasakan sengatan listrik di telapak tangangnya. Merambat cepat dari ujung telapak tangan, terus menjalar ke seluruh tubuh hingga Ketua Pengadilan jatuh tak sadarkan diri.

Ketua Pengadilan membuka mata, karena kaget mendengar suara. Didapati gawai yang dipegangnya telah terjatuh. Mungkin ketika terlelap, gawai yang bergetar terlepas dari gengaman tangannya.

Tampak di sebelahnya seorang wanita dengan seragam hijau berusaha mengambil gawai yang terjatuh.

Masih setengah sadar, Ketua Pengadilan mengusap wajahnya dengan kertas tisu yang disodorkan wanita dengan seragam hijau. “Ngantuk ya pa setelah nyetir dari pagi tadi?” ucapnya lembut.

Tanpa menjawab, Ketua Pengadilan segera merapikan kembali bajunya. “Apakah tadi mimpi ya?” gumam Ketua Pengadilan dalam hati.

Mencoba bersikap berwibawa ketika petugas menghampiri dan menyampaikan bahwa acara akan segera dimulai. “Lega, mulai juga akhirnya”. TAMAT

Semarang, 29 Maret 2022.